United Nations butuh kitchenhand
Terusik oleh gugahan Silverlines.blogspot.com yang menyarankan mencoba bergabung dengan UN. Kantor JKT kah? Koneksi orang dalam dong.
heheee ^^/
Silverlines menuduh saya multilingual ─beh ... tuduhan yang masih harus dibuktikan─ dan hal ini dicari oleh UN. Tak disangkal, imej publik terhadap UN adalah pegawai yang efisien (err.. ?), cerdas, dan menguasai bahasa asing di luar bahasa Inggris.
Lucunya, bahasa kerja (working language) yang diakui UN bukan hanya Inggris, melainkan ex-juggernauts Perancis, Spanyol, dan entah apa lagi sisanya (Jerman? atau malah sekarang Mandarin calon kuat kandidat). Namun, bukan rahasia umum, French kini terseok-seok, tajinya patah oleh bahasa suku Anglosakson.
Maafkan saya ibu pertiwi, saya hanya bisa bilang, Saya ngga punya pengalaman bekerja di Jakarta. Belum berkesempatan. Selepas SMU 1999, seperti ikan salmon di musim kawin, ikut gerombolan yang menuntuk ilmu ke negeri tetangga. Dan semenjak itu, pengalaman kerja saya justru terbatas dengan kompani lokal di AUS. Dan sepupu saya pun sekali waktu berujar «Aduh kamu udah keenakan di sana pas balik-balik malah survival skill kamu melempem, di JKT kerja emang lebih keras tapi kalo beruntung, ada kesempatan emas, dan kerja super giat justru bisa melesat pesat.»
Tak bisa disangkal, pekerjaan saya di sini cuma Senen-Kemis doang euy. Cuma buat hari ke hari. Karir tiada melaju. Tapi begitulah, saya pikir kerja di JKT tidak lebih nyaman daripada di sini. Pagi hari, ketegangan telah dimulai, apalagi keluarga di JKT biasanya berukuran lumayan besar, pagi hari adalah puncak hiruk-pikuk rumah tangga. Lalu di jalan, O My Godfather, macet tak terkira. Lalu remunerasi. Dengan jujur saya akan bilang, Siapa sih yang ngga akan milih pekerjaan sama dengan upah yang lebih tinggi. Plus keeksotikan berdomisili di luar RI.
Di ujung benak masih ada niatan untuk setidaknya mencoba adu nyali bekerja di RI. Entah kapan. Satu keinginan kecil adalah bekerja sukarela. Volunteering. Pengen nyari kepuasan hati tanpa liat figur remunerasi. Lagi-lagi entah kapan.
Bicara tentang kerja, saya bukan tidak kenal kerja keras. Mungkin ngga bisa dibilang kerja keras à la Sunda Kelapa. Tapi ... begini kisahnya, minggu ketiga setibanya saya di kota ini, gerah hati melihat waktu kosong terbuang di gutter, sementara ongkos hidup boh ... menggila -apalagi pendatang baru dari Asia, non-Japan, yang tiba di sini, si dolar kangguru bak kollosus perkasa. Saya putuskan mencari pekerjaan.
Dan pekerjaan pertama saya : Kitchenhand, saudara-saudari sekalian. Salah satu gawean paling sukar. Tak jauh dari sekolah ada sepucuk notice paper, WANTED, dan jadilah saya menjadi tenaga pembantu di dapur mereka. Club merangkap kafe, bar, pub, dan night club-cum-discotheque.
Jadwal kerja 10 pm - 1 am. Dan malam pertama, pulang rumah, capenya luar biasa.
"Well, there's no easy way to say this. I'm afraid we have to let you go".
Let me go alright they did. Tadinya saya pikir, apa salah saya. Kerja selalu masuk, tepat waktu, dan semua tugas kelar. Rupanya performansi saya di dapur tak cukup layak bagi mereka. Hal ini terkonfirmasi oleh pekerjaan kedua saya, masih juga kitchenhand di sebuah kafe milik seorang ibu-ibu beraksen Germania. Dan mereka pun "melepaskan" saya tak lebih dari seminggu.
Semenjak itu, saya tak pernah lagi berani meremehkan ke-krusial-an seorang kitchenhand yang tampak sering bersakit-sakit di dapur. Atau malah ditindas si majikan. Ini adalah pekerjaan susah, berupah sangat rendah (majikan saya juga memilih tidak membayar pajak, alias gelap) dan prone to abuse.
D'accord ?
3 comments:
Ini lhoo UN Official Language
Bisa lho pindah ke UN di Canberra kao emang nggak mau di Jakarta hehe. Tetep aja dimana2 tidak terima titipan ya
*keukeuh mode*
Atau pindah di ONU Italia...
weitsss... tunggu dulu. kamu 99 juga? :D
ps: gw juga someday pengen kerja buat un. :)
Posta un commento