settembre 30, 2010

Lupakan Palermo

TERSEDIA DI TOKO BUKU TERDEKAT

Situs, klik GagasMedia



Judul : Lupakan Palermo
Penulis : Gama Harjono & Adhitya Pattisahusiwa
ISBN : 979-780-442-9
Jumlah halaman : 404 halaman
Ukuran : 13 x 19 cm


Mencintai dia adalah hal paling mudah yang pernah aku lakukan seumur hidup. Bersama dia membuat waktu seolah berhenti seketika. Hanya ada aku, dia-dan cinta. Dia adalah kekasih, dia juga sahabat bagiku. Tak ada penjelasan pasti tentang bagaimana dia bisa menyelinap masuk, tinggal di sana-di tempat paling spesial di dalam hatiku.

Jadi, kurasa kau mengerti kenapa berpisah darinya adalah hal tersulit yang pernah aku lakukan. Merindukannya membuat waktu berjalan lambat sekali. Banyak yang ingin aku katakan-SMS tak mungkin cukup membendungnya. Dan waktu lebih kejam daripada dugaanku semula. Jarak dan keinginan bertemu disihirnya jadi rindu. Rindu disihirnya menjadi ragu.

Aku bukanlah laki-laki kuat. Di suatu masa, di antara hari-hari tanpa dirinya, aku melakukan sesuatu yang kelak akan kusesali seumur hidup. Hatiku mendua....


*** REVIEWS ***

agosto 30, 2010

Ghedafi dan 500 Bidadari

Baru-baru ini saya backpacking di Maroko. Di ujung utara benua Afrika, di antara rana Eropa dan warisan budaya Timur tengah, Maroko memberi saya kesempatan menyaksikan betapa agama memiliki peranan besar dalam kehidupan sehari-hari.

Tapi, mestikah kita mempengaruhi orang lain dengan kepercayaan kita?

Kolonel Ghedafi, pemimpin (sebagian orang menyebutnya diktator) Libia tengah berada di Italia. Biasalah, power talk, business lunches dan, tentu saja, jual-jual minyak.



Sang Kolonel berkumis ini terkenal party animal, gila pesta. Di kediaman duta besar Libia, Ghedafi mengundang 500 gadis Italia yang belia nan cantik. Tak punya rupa manis, lupakan bisa mendapat undangan.

Acara ramah tamah nan mewah ini ternyata diisi oleh presentasi Islam. Kepada 500 gadis cantik, Ghedafi memberi cenderamata Qoran sekaligus meminta gadis-gadis itu berpindah agama.

Terbayangkah jika kisah seperti ini terjadi sebaliknya? Presiden Prancis datang ke Indonesia misalnya, dan meminta perempuan Indonesia memeluk agama Katolik? Wah, penduduk RI pasti protes dan mencak-mencak, perang dingin dengan Malaysia bakal jadi cerita halaman belakang.

agosto 22, 2010

Pemilu Australia

Pemilu Australia


Mengamati proses demokrasi milik bangsa lain bukan cerita baru, ini barangkai obsesi setiap ruling class.

Tanggal 21/8/2010 lalu, negeri kangguru merampungkan pemilu mereka, 'election' itu bahasa kerennya — kebetulan saya menjadi bagian langsung proses ini.

Bagi fans konvoy mobil-motor, yakni arek-arek dengan kaos berwarna bendera partai meneriakkan yel-yel di sepanjang jalan protokol, Australia is not the place to be.

Pemilu di negeri koala ini tidak jor-joran, terkesan kalem bahkan. Mungkin ini salah satu karakter negeri di mana garis-garis demokrasi dengan tradisi bangsa Inggris menorehkan jejaknya cukup solid.

Partai politik di Australia jarang sekali mengadakan pertemuan akbar yang dihiasi oleh artis ibukota, seperti di RI. Ataupun konvensi politik, ala pemilu US, di stadium olahraga yang diisi oleh bos-bos perusahaan multinasional. Agenda kampanye Australia bisa dianggap membosankan, jika menggunakan barometer USA.

Yang sama adalah taktik image di media: leader yang berkunjung ke daerah-daerah terpencil dan menyambangi rumah sakit, leader partai politik berdialog dengan pemilik bisnis dan ibu-ibu rumah tangga di childcare centre. Dan tentu saja, yang tak boleh ketinggalan, foto cium baby di manapun mereka berkampanye.

Hari pemilu jatuh pada hari Sabtu: berbeda dengan kondisi RI di mana jalanan menjadi lengang dan kebanyakan karyawan libur, Sydney terlihat normal, bakery dan kafe di Circular Quay tetaplah ramai, feri menuju Manly hilir-mudik mengantar penumpang yang didominasi turis asing, downtown CBD (Central Business District) sebaliknya, mati.

Sialnya, saya mesti masuk kerja hari itu. Dan tidak ada dispensasi dari kantor. Business as usual, singkat kata.

Pada saat jam makan siang, bersama Karla, rekan asal Meksiko yang juga warga negara Australia, plus Joe rekan orang Australia, saya meluncur menuju public school terdekat. Tujuan: untuk mencoblos.

Jalanan ramai, kami harus menunggu di perempatan. Lampu merah terasa lama sekali, lampu hijau bagi pedestrian, sebalikknya, tak kunjung nyala. Jam makan siang kami cuma 60 menit!

Lucunya, nyoblos di sini bisa dilakukan di TPU manapun. Saya yang terdaftar di alamat lama, bisa mencoblos di TPU di distrik yang berbeda. Tak masalah, sepanjang masih di negara bagian yang sama (NSW/New South Wales). Jika kamu orang NSW berada di negara bagian lain, Queensland misalnya, kamu harus mendaftar ulang agar diizinkan mencoblos.

Karla: "Who are you going to vote, Joe?"
Joe: "Oh I am going to vote for Labor!"
Gama: "Me too."
Karla: "I am going to vote for the Greens, guys."

Kultur pemilu di Australia memang beda sekali. Di sini, orientasi politik sangat terbuka dan warga lokal tak menyembunyikan partai pilihan mereka. TOO EASY, Mate, seperti kata orang-orang Australia yang terkenal casual dan laid-back.

Karena nama kami bertiga tak terdata di daftar panitia, kami diarahkan ke meja yang lain. Antrean agak memanjang di sini, kira-kira 10 menit.

Oopps, giliran saya, perempuan panitia yang mengecek data saya seorang imigran Asia. Mungkin dia orang Filipina, dari aksennya.

Okay, saya menatap dua lembar kertas di tangan. Kertas kecil berwarna hijau untuk mencoblos partai politik lokal, kita harus memberi nomor dari 1-6 untuk senator lokal.

Lembar kertas berikutnya gigantis, panjannya mungkin sampai 1 meter, seperti pergamena saja. Padahal di kertas ini kita cuma memberi satu coretan saja. Di RI, kita mencontreng, orang Australia mencoret satu garis lurus vertikal di atas box pilihan.

Lipat kertas ke amplop. That's it. Saya sudah mencoblos, dan ini berarti negara tidak akan mendenda saya, saya lolos dari ancaman penjara. Ya, di Australia, mencoblos hukumnya wajib bagi setiap warganegera.

Semoga Labor menang!

maggio 16, 2010

Bikin Paspor

Kayaknya semua travel writer Indonesia pernah —dan mesti— nulis suka-duka bikin paspor. Oh ya, dokumen perjalanan ini emang indispensable, kudu punya, agar bisa jalan-jalan di teritori asing di muka bumi.


Pertama kali mengurus paspor, saya pake jasa agen. Dua belas tahun yang lalu. Sedikit detil yang teringat. Ortu yang membayar agen, tanda tangan formulir, duduk rapi di di kantor paspor, foto, antre lagi, pulang dengan dokumen ajaib itu dengan harapan agar bisa digunakan secepat mungkin. Si kura-kura mau keluar dari tempurungnya.

Paspor kedua, lebih simpel, isi formulir, kirim ke konsulat RI. Seminggu kemudian, paspor jadi. Total biaya: AU$85, ongkos transportasi ditanggung oleh Jim, housemate pengangguran yang berbaik hati jadi sopir menuju konsulat RI.

Itu paspor RI. Gimana sih perkara mengurus paspor di negara lain? Mari menengok di negeri tetangga, mungkin ada satu-dua hal yang bisa kita pelajari.

Contoh simpel, tetangga bule kita, yakni negeri commonwealth Australia (AUS). Kebetulan saya punya pengalaman segar.

AUS memberikan paspor kepada warganegaranya, atau kepada individu yang salah satu orang tuanya warganegara Australia.

Birokrasi di sini memang jauh lebih ringkas dan nggak ada tetek-bengek tumpukan map manila yang kucel di ruang antre dengan tivi 14 inch menyiarkan sinetron putar ulang.

Ya, formulir masih harus diisi, tapi tidak perlu antre, dan tidak ada praktek «uang amplop» atau calo berkeliaran di gerbang kantor departemen imigrasi.

Paspor di Australia bisa dibikin di kantor pos. Apa?! Kantor pos, tempat jual prangko itu? Ya, mungkin alasannya, negeri-benua ini terlalu luas, kalau kamu tinggal di padang pasir merah, susah dan mahal mau ke kota cuma untuk bikin dokumen.

Barangkali ini bisa jadi satu 'pelajaran' buat negeri RI. Di negeri kepulauan RI kan banyak penduduk tinggal di daerah dan zona terpencil. Kalau mereka bisa bikin paspor di kantor pos terdekat, bukankah itu ide bagus?

Ok, formulir paspor simpel. Isi semua data dan tunjukkan bukti kamu berhak menyandang paspor beremblem kangguru dan emu ini. That's it!

Saya menyertakan dokumen naturalisasi, alias kewarganegaraan yang diberikan oleh pemerintah. Plus 2 buat foto, foto harus berukuran 4x6. Tanpa senyum, rambut awut-awutan. Mereka tak peduli, pas foto harus sesuai aturan mereka yang strict. Salah satu foto juga harus digaransi, alias ditulis. Sang garantor haruslah seorang warganegara Australia yang tak punya hubungan darah, mengenalmu minimum 12 bulan, dan rela menjadi garantor.

Serahkan formulir lengkap kepada pak pos (atau ibu pos), bukti dokumen identitas (SIM, rekening, kartu kredit) dan foto. Ongkos, A$210. Dengan menambah A$70, ada servis ekspress, 4 hari kerja jadi! Paspor akan dikirim ke rumahmu dengan surat tercatat, agar nggak hilang di jalan.

Total waktu proses, 30 menit, sudah termasuk mengantre di depan loket! Dan saya, sang imigran, tersenyum lega.

aprile 21, 2010

Thou shalt join the coffee cult


Don't want to be taken for a tourist? Then don't be heard ordering a latte after lunch, writes Lee Marshall.

I once met an Italian who didn't drink coffee. He made light of the fact but you could see he was tired of having to explain his disability every time some new acquaintance uttered the standard Italian greeting: "Prendiamo un caffe?" ("Fancy a coffee?"). His breezy but faintly passive-aggressive manner concealed, I suspect, deep pools of self-doubt and underground lakes of wounded masculine pride. Vegetarians develop the same nonchalant, yet haunted, look when travelling in places such as Mongolia, where meat comes with a side-dish of meat. But this Italian guy wasn't a visitor, he was local. He was the Mongolian vegetarian.

Coffee is so much a part of Italian culture, the idea of not drinking it is as foreign as the idea of having to explain its rituals. These rituals are set in stone and not always easy for outsiders to understand. As in any self-respecting cult, they are made deliberately hard to comprehend, so that the initiated can recognise each other over the bar counter without the need for a curious handshake (which would only lead to stubborn cappuccino stains).

Some might object that the Italian coffee cult is now a worldwide church with branches in London, Dubai and Bora Bora. But while the Arabica coffee blend is often perfect, the cups just the right size and shape, the machines as "Made in Italy" as they come, Italian coffee bars outside Italy almost always adapt to the host culture - just like the vast majority of Chinese restaurants outside China. If you take your cue from your local high-street espresso purveyor, you risk straying from the True Path on arrival in Italy.

Here, then, for those who fancy going native in true Lorenzo of Arabica style, are the Ten Commandments of Il Culto del Caffe.

1 Thou shalt drink only cappuccino, caffe latte, latte macchiato or any milky form of coffee in the morning - and never after a meal. Italians cringe at the thought of all that hot milk hitting a full stomach. An American friend who has lived in Rome for many years continues, knowingly, to break this rule. But she has learnt, at least, to apologise to the barista.

2 Thou shalt not muck around with coffee. Requesting a mint frappuccino in Italy is like asking for a single-malt whisky and lemonade with a swizzle stick in a Glasgow pub. There are but one or two regional exceptions that have the blessing of the general coffee synod. In Naples, you can order un caffe alla nocciola - a frothy espresso with hazelnut cream. In Milan, impress the locals by asking for un marocchino, a sort of upside-down cappuccino, served in a small glass and sprinkled with cocoa powder, hit with a blob of frothed milk, then spiked with a shot of espresso.

3 Which reminds me, thou shalt not use the word espresso. This a technical term in Italian, not an everyday one. Espresso is the default setting and single is the default dose; a single espresso is simply known as un caffe.

4 Thou can order un caffe doppio (a double espresso) if thou likest but be aware that this is not an Italian habit. Italians do drink a lot of coffee but they do so in small, steady doses.

5 Thou shalt head confidently for the bar, call out thine order, even if the barista has his back to you, and pay afterwards at the till.

6 If it's an airport or station bar or a tourist place where the barista screams "ticket" at thee, thou shalt, if thou can bear the ignominy, pay before thou consumest.

7 Thou shalt not sit down unless thou hast a very good reason. Coffee is a pleasurable drug, but a drug nevertheless, and should be downed in one, standing. Would thou sit down at a pavement table to take thy daily Viagra?

8 Thou shouldst expect thy coffee to arrive at a temperature at which it can be downed immediately as per the previous commandment. If thou preferest burning thy lips and tongue or blowing the froth off thy cappuccino in a vain attempt to cool it down, thou shouldst ask for un caffe bollente.

9 Thou shall be allowed the following variations, and these only, from the Holy Trinity of caffe, cappuccino and caffe latte: caffe macchiato or latte macchiato - an espresso with a dash of milk or a hot milk with a dash of coffee (remember, mornings only); caffe corretto: the Italian builder's early-morning pick-me-up, an espresso "corrected" with a slug of brandy or grappa; and caffe freddo or cappuccino freddo (iced espresso or cappuccino) - but beware, this usually comes pre-sugared. Thou mayst also ask for un caffe lungo or un caffe ristretto if thou desirest more or less water in thine espresso.

10 Anything else you may have heard is heresy.

marzo 30, 2010

Fotografia

Aku lagi gemar menggeluti fotografi, nulis jadi agak terabaikan.

Fotografi itu bikin orang kecanduan!


Kebetulan kemarin lalu, aku diminta motoin wedding temen.

Dan ini bebarapa hasilnya





febbraio 17, 2010

Pizza 1 Meter, Perugia, Italia



Ini dia pizza 1 meter di Pizzeria Etruschetto Perugia !


Yum yum!

gennaio 31, 2010

on the prowl

Life feels like a Thai mango salad wrapped in a leaf. You are drooling over it and strangely it awaits you to make a move.

A quick recap:

1. November 2009, aku ngehost 2 travellers www.couchsurfing.org - Piergiorgio dan Emanuelle. Emanuelle seorang dokter gigi asal Prancis yang nekat melepas kemapanan demi bisa menggerus ban mobil sepanjang padang pasir dan Outbank Australia.

Piergiorgio lebih ekstrim lagi. Arsitek asal Treviso (dekat kota Venice) nekat keliling dunia seiring putaran jarum jam, selama 2 tahun. Dari Italy, dia sudah berganti puluhan alat transportasi, mengoleksi visa negara-negara eksotik, dari Eropa, Timur Tengah, India, Asia, Australia, America Selatan.

Dan dia masih on the road sampai akhir tahun ini.

Kameranya hilang. Tak masalah, bisa diganti. Harga tiket mahal. No problem, dia membeli tiket rute alternatif dan turun di kota transit sambil mengemis kepada check-in chicks, dia harus mengantar botol wine pada temannya!

Ini dia website Piergiorgio.

http://www.traversin.org/ (foto dan ceritanya keren-keren, euy! Sumpah.)

2. Januari 2010, dua teman dari Italia datang. Claudia dan Matteo. Terakhir kali aku lihat mereka, musim dingin Desember 2006. Kami makan enak di dapur Matteo. Claudia juga ngebantuin anak-anak Indonesia yang sempat masalah dengan beasiswa. Gadis Sicilia ini lalu melanjutkan master di kota Padova, di Utara Italia. Lalu sempat intership di Denmark.

Matteo, psikiater kita ini ingin melihat dunia - walaupun dia sudah pernah menginjak kaki ke banyak tempat, Meksiko, Maldives!

Matteo juga mau belajar bahasa Inggris. Mau bertemu dengan orang-orang yang berbeda. Mau memulai dari awal. Sebelum the big 30 -alias kue ulang tahun 30 dipotong.

Bahasa Inggris Matteo nggak fasih. No prob. Dia bertekad belajar on the street (of Melbourne).

Claudia juga punya a wish. Bisa surfing.

... hola, ketemu mereka bikin aku berpikir. Apa project yang harus aku capai sebelum usia 30...