dicembre 22, 2009

Macchina e Chiesa



Macchina e Chiesa

dicembre 17, 2009

Peri Calcata / Tabloid Aplaus

Edisi 114 > Fokus > Setapak > Peri Calcata (Italia)


PERI CALCATA - Lazio, Roma, Italia


Jalan-jalan akhir pekan yang unik selalu dicari. Tak beda untuk mereka yang kebetulan tinggal di kota Roma. Ibukota Italia ini juga dikepung oleh desa-desa medieval yang menggoda untuk dikunjungi. Belum lagi janji makanan khas Romana. Semua ini ditemukan di Calcata.

MUSIM semi mengetuk tak sabar pintu-pintu rumah di Italia. Kebetulan Sylvain, sahabat saya yang tinggal di kota Nice, Perancis, datang ke Roma dalam rangka liburan. Ide brillian saya adalah menciptakan weekend“alla romana”. Maka itu, saya minta pada Francesco, seorang teman yang warga asli Roma, untuk memilih satu lokasi di Lazio di hari Sabtu yang cerah ini.

Kami meluncur ke arah dataran tinggi di daerah utara Lazio. Lucunya, sepanjang jalan tol S.S. 2, yang lebih dikenal sebagai jalan antik Via Cassia pada era Kekaisaran Romawi, tak satupun
amfiteater terlihat. Namun, pamer paha dan dada semok melimpah-ruah.

“Gadis-gadis ini
lucciole,” ucap Francesco yang menjadi guide lokal. Dalam bahasa gaul, luccioleartinya PSK alias Pekerja Seks Komersial. Perempuan-perempuan di sepanjang via Cassia ini sepertinya berasal dari Eropa Timur. Mereka masih belia; tak sampai 20 tahunan.

Bagi sebagian orang, prostitusi memang cara mudah mencari uang atau untuk sekadar bertahan hidup. Setelah kabur dari negaranya demi mencari kehidupan yang lebih baik, ataupun melarikan diri dari kerasnya realitas sisa-sisa kehidupan sosialisme-komunisme, mereka harus bisa “bergerilya” agar bisa hidup di Eropa Barat.

Mungkin melihat perempuan yang memamerkan bagian-bagian tubuh membuat jengah kebanyakan orang. Namun, hal ini tak berlaku di negeri Italia yang notabene sangat Katolik. Italia memang penuh realitas paradoksal.

Negeri berbentuk sepatu bot ini punya hukum antiprostitusi yang gahar dan bergaya
in your face. Kamera pengintai kini menjadi pengawas libido warga Roma di sudut-sudut strategis di kota yang terkenal dengan hidangan khas pasta carbonara ini. Polisi dan carabieneri (polisi sipil-militer Italia) juga sering berpatroli, serta tak segan mengeluarkan denda on the spot pada pengguna jasa seks pinggir jalan.

Persatuan PSK—oh ya, jangan salah, mereka punya sindikat pekerja!—tak mau kalah sebelum bertarung. Mereka berkampanye di pelbagai kota menuntut “hak” mereka untuk menjalankan profesi tertua di dunia yang mereka geluti. Mereka tak sekadar bergerilya di jalan, namun juga siap membayar tilang agar pelanggan setia tak segan menggunakan jasa mereka.

Skyline abad pertengahan Calcata
Kami baru saja menempuh 40 km. Mobil Fiat yang kami tumpangi perlahan mendaki jalan dua ruas yang begitu sempit, tak cukup lebar untuk menampung mobil-mobil berplat RM (Roma) yang diparkir ilegal di bahu jalan.

Akhirnya! Skyline abad pertengahan Calcata muncul dengan spektakuler, menyuruh siapa pun segera melintasi gerbang kotanya. Tempat ini sepertinya punya banyak “cerita”, terlihat jelas dari pucuk-pucuk
parapet (tembok pertahanan yang umumnya ditemukan pada sebuah benteng atau kastil) benteng kota yang meruncing layaknya ekor burung walet menandakan desa ini dulu mendukung kubu Ghibellin, alias pendukung Kekaisaran Suci Romawi di abad ke-12 dan 13.

Calcata ialah tempat yang kita pikir nyata hanya di cerita-cerita fantasi atau di dunia dongeng yang dipenuhi peri dan kurcaci. Mencuat di atas karang bebatuan
tuff (abu vulkanis yang mengeras), Calcata adalah satu dari sejumlah desa abad pertengahan di daerah Lazio.

Namun, di balik atap
terracotta dan tajamnya puncak menara-menara medieval di sini, desa ini ternyata berasal-usul suku Falisci. Sama seperti nasib suku-suku kecil yang bertebaran di sepanjang jazirah Italia, suku misterius Falisci sempat berperang dengan kota Roma sebelum akhirnya ditaklukkan oleh ketangguhan prajurit Romawi. Semua ini terjadi dua setengah abad sebelum lahirnya Kristus.

Parkir mobil diperbolehkan hanya di bagian luar dinding kota yang berusia ratusan tahun. Melewati gerbang Romawi yang menjulang tinggi dan terbuat dari susunan batu-batu raksasa, kami dan para pengunjung desa ini juga harus melalui serangkaian lorong-lorong suram tipikal abad pertengahan. Sinar matahari yang panas tak kuasa menerobos sejuknya dinding kota yang berlumut.

Piazza Vittorio Emanuele II
Kami sampai di Piazza Vittorio Emanuele II yang terlalu luas namun penuh aktivitas. Anak-anak kecil berkejar-kejaran, sementara orang tua mereka terpaku mengagumi pengamen jalanan yang berpenampilan elegan dan tekun melantukan tembang klasik melalui akordeon. Alun-alun utama desa ramai oleh pengunjung yang kebanyakan didominasi oleh orang Italia. Ya, tempat ini tak bisa ditemukan di buku guide ataupun peta turis pada umumnya.

Banyak orang tak tahu betapa “pentingnya” Calcata dalam sejarah Kristianitas. Menurut legenda, pada tahun 1527 Calcata sempat menjadi tempat disembunyikannya sebuah relik penting bagi umat Katolik. Alkisah, seorang prajurit bayaran mencuri relik suci dari gereja Vatikan, untuk kemudian disembunyikan di Calcata. Relik yang dimaksud adalah “Holy Prepuce” alias serpihan kulup (
foreskin) yang kabarnya berasal dari sunatan Kristus. Oh ya, fantasi orang-orang zaman dulu memang bisa dikatakan hebat.

Terlepas dari benar atau tidaknya legenda itu, Calcata kini menjadi tempat favorit tujuan berakhir pekan. Di sini semua terasa rileks. Calcata mungil sekali. Tak heran–dan mau tak mau–berjalan kaki ialah satu-satunya cara menjelajah. Di dalam desa terlihat sedikit sekali kendaraan beroda. Sebagai gantinya, galeri seni dan
atelier (workshop artis.) mengintip di setiap sudut. Sabar dulu, semua ini ada penjelasannya.

Di Lazio, Calcata ialah satu dari sejumlah desa yang “ambruk”. Ambruk dalam pengertian tak ada aktivitas ekonomi yang bisa menunjang pertumbuhan desa. Akibatnya, bedol desa: penduduk terpaksa pindah ke kota untuk mencari pekerjaan.

Pada era Fasis di awal abad ke-20, pemindahan penduduk bahkan dilakukan secara paksa. Hingga tahun 1960-an, Calcata masih seratus persen “feodal”, dinding kota yang dibangun di abad ke-12 meredam laju modernitas. Di tahun 90-an, tempat ini menjelma menjadi pusat budaya. Artis-artis
hippies masuk ke Calcatta, dan orang-orang asing membeli properti di sini dengan harga sangat murah. Untungnya, kebanyakan bangunan di sini masih terlihat kokoh dan terawat.

Kusen dan pintu restoran di Calcata tampak segar, baru dicat, sedangkan jendela rumah makan terlihat transparan, memamerkan pelayan yang berlalu-lalang mengantar hidangan yang mengundang nafsu makan.

La Fata del Borgo
Kami memang tiba di Calcata agak sore. Jam makan siang sudah lewat, namun perut keroncongan memaksa kami segera mencari pengganjal perut. Dengan adanya orang Perancis dan Italia di rombongan ini, mau tak mau kami mencari restoran yang bisa memuaskan lidah Eropa yang
sophisticated.



Kami duduk di teras restoran yang nangkring di tepi jurang. La Fata del Borgo, alias rumah makan “Peri Dusun” ini
fully booked. Meskipun sudah mem-booking, kami masih harus menunggu di antrean.

Setengah jam kemudian barulah kami mendapat meja. Para pelayan mondar-mandir tanpa berhenti sekalipun di meja kami. Rasa lapar kami tahan dengan ngobrol ditemani
grisisini, roti gurih tipikal Italia, sambil menikmati panorama deretan pinus Meditarania yang tumbuh liar di antara tebing-tebing curam.

Restoran ini sungguh luar biasa ramai. Dua pelayan tak sanggup menangani rasa lapar puluhan warga Roma. Sejam sudah terlewati, belum ada tanda-tanda pesanan kami. Kami kembali meminta pelayan bergegas. Sylvain mengerutkan dahinya, dia memang tak terbiasa dengan pelayaanan di Italia yang jauh dari kata efisien.

Ah, akhirnya hidangan kami datang! Pasta Carbonara. Belum sempat kami bilang
buon appetito, alias selamat makan, “Wrong dish,” ucap Sylvain. Astaga, pelayan salah meja. Pasta carbonaraternyata pesanan meja sebelah. Insiden ini terulang dua kali. Sialnya, selalu Sylvain yang menjadi korban. Kali ini pelayan yang berbeda menyodori pasta All’amatriciana.

Hari menjelang sore, kami mengelus perut. Koki restoran La Fata del Borgo keluar dari dapur. Asap rokok yang ia embuskan seakan berusaha menghapus stres yang tertera jelas di raut mukanya. Ia mendatangi para pengunjung yang tersisa, meja demi meja. Ini memang kebiasaan para koki yang ingin cari tahu kepuasan pelanggan. Akhirnya, dia tiba di meja kami. Dari aksennya,
chef perempuan ini berasal dari Amerika Selatan. Ia berkali-kali meminta maaf. Alasannya, hari itu mereka kekurangan staf. Sebagai permintaan maaf, dia menawarkan tiramisu on the house.

Dengan deg-degan kami menikmati. Melirik ke arah Sylvain, saya waswas, Sylvain pasti kecewa dengan pengalaman ini. Ini kali pertamanya dia mengunjungi Italia dan sejauh ini Italia pastilah memberikan kesan “negara dunia ketiga”. Apalagi urusan perut, orang Perancis kan terkenal
fussy soal makanan.

Ah, kami terselamatkan. Sylvain cukup puas dengan sajian utama yang ia pesan. Kami tersenyum girang. Psst, Sylvain tidak tahu polenta con carne, alias sop jagung mais dengan daging, bukan makanan khas Lazio, melainkan daerah Utara Italia. Tak apalah, yang penting Asal Teman Senang.

Opera Bosco Museo d’Arte nella Natura
Tiramisu dan Limoncello (
liqueur khas Italia, terbuat dari lemon) diantar langsung oleh sang koki. “Buono—Enak,” komentar Sylvain pada sang koki. Kami berkali-kali berterimakasih. Ya, ya, kadang basa-basi diperlukan agar koki wanita ini tak tersinggung. Profesi yang ia sandang cukup mulia, mengenyangkan banyak orang sekaligus membuat lidah mengecap puas.

Matahari sore menebar rona jingganya. Ah tempat ini, Calcata, benar-benar membuat kita seperti anak kecil yang ingin bermain-main sepanjang hari. Kami berjalan-jalan sambil keluar masuk galeri seni. Di beberapa sudut, kepulan kacang walnut yang dibakar menyengat mata sekaligus menimbulkan air liur.



Keluar sedikit dari Calcata, kami langsung berada di tengah daerah pedesaan denga jalan setapak berlumpur, rumput ilalang setinggi lutut dan, tentu saja, lolongan anjing penjaga rumah petani.

Tak lama kami tiba di sebuah tempat yang unik. Mereka menyebutnya Opera Bosco Museo d’Arte nella Natura. Museum ini unik dan memberi sensasi berbeda dari museum-museum kebanyakan. Semua karya seni terbuat dari bebatuan, ranting dan batang kayu. Bentuk-bentuk hewan dan aktivitas sehari-hari (bangku, meja dan perahu nelayan) mendominasi, mengingatkan natur manusia yang memang selalu ingin kembali ke alam setelah lelah akan keseharian di kota.

Guide To Calcatta

How to get there
Transportasi publik tidak disarankan sebab hanya beroperasi di musim panas. Sangat disarankan berkendaraan pribadi, dari Roma, ambil jalan tol S.S. 2 (Via Cassia) dan ikuti rambu saja. Seperti kata pepatah, ‘Ada Banyak Jalan Ke Roma’, jadi kamu punya banyak jalur transportasi ke sana, tetapi umumnya, bisa dengan rute Medan/Jakarta-Singapura/KL-Roma dengan lama perjalanan 12 jam. Sekadar info saja, waktu setempat di Roma 6 jam lebih awal dari Waktu Indonesia Barat.

When to go
Hindari musim dingin dan bulan Agustus di Italia. May-Juni, Calcata tempat alternatif “off the beaten track” setelah puas mengunjungi Roma.

What to do
Calcata adalah tempat melepas kepenatan bagi warga Roma. Di Calcata, ikuti kata hatimu, jelajahi sudut-sudut dunia yang hilang ini dengan santai. Masuk ke galeri tanpa nama dan berbincang dengan artis atau pemilik galeri.

What to eat
Restoran di Calcata selalu penuh pada saat weekend di musim panas. Sebelum memesan, minta saran apa
menu of the day atau speciality daerah Lazio yang diandalkan oleh restoran.

Profil Penulis
Gama melukiskan
passion untuk negeri Pasta, Italia, melalui tulisan dan jepretan tustelnya. Selain kerja penuh waktu, ia menulis lepas untuk harian the Jakarta Post. Buku pertamanya “Ciao Italia!”, terbitan GagasMedia, tersedia di toko buku terdekat.


dicembre 03, 2009

Natalan di Venice, Yuk!

Pernah ngebayangin ngerayain Natalan —yes, European Christmas— di kota cantik seperti... err, Venice?


Sedihnya, Venice kali ini harus melewatkan Natal yang agak "basah", kota ini terendam oleh air laut.

Tapi... Tetep aja terkesan romantis, kok. Ya, nggak sih?