gennaio 22, 2009

Narasi akan kota yang hilang

Perugia memang kota medieval yang luar biasa bagus, gedung-gedung tuanya terawat dengan baik walau sudah berumur berabad-abad.

Di Ciao Italia! Perugia memang jadi setting utama. Banyak tempat yang spesial, cantik dan berkesan di sini, namun tidak sempat dikupas di Ciao Italia. Begitu juga foto-foto Perugia di Ciao Italia! sangat terbatas.


Skyline Perugia


Via Pinturicchio, jalan sempit ini menghubungkan rumah di Via Bella dengan sekolah di Piazza Fortebraccio. Semua student di Perugia kenal via Pinturicchio seperti mereka kenal telapak tangan mereka sendiri. Di jalan ini ada pizzeria kecil yang menjual sepotong pizza seharga 1 euro, resto cina bernama Grande Muraglia dengan paket makan siang 5 euro mereka. Dan tentu saja, gelateria Augusta yang menjadi primadona kala sengat matahari summer tak lagi tertahankan.


Fontana Maggiore, salah satu air mancur historik dan paling bersejarah di Italia. Buat warga Perugia, Fontana Maggiore adalah titik nol km, sejarah kota ini bermula dari tempat ini. Fontanta Maggiore dikelilingi puluhan gedung abad ke-12. Menjelang matahari terbenam, tangga-tangga di katedral San Lorenzo yang berhadapan dengan Fontana Maggiore menjadi tempat hangout, tempat menunggu teman, tempat menikmati hangatnya sinar matahari di sore hari. Entah berapa sore yang saya lalui di anak-anak tangga ini. Sendiri, berdua, bertiga atau bergerombolan dengan teman-teman...



Pintu Matahari alias Porta Sole). Dari kampus, Porta Sole begitu dekat, namun juga begitu jauh. Titik tertinggi di Perugia ini menjadi spot nomor satu untuk menikmati sunset di kota ini. Untuk mencapainya, itu cerita lain. Pffuuf pufff siapkan napasmu karena ada ribuan anak tangga untuk sampai di puncak Porta Sole.

gennaio 18, 2009

RiceCookerino

Apa jadinya kalo ngga ada bangsa Jepang yang rajin menemukan produk berorientasi pada kepraktisan?

Jawabnya, menanak nasi bisa jadi problem yang ribet.

Sebagai cowok yang udah lama tinggal di luar rumah orang tua, bisa dibilang saya jago masak; yaaah untuk standar cowok Indonesia, setidaknya.

Housemate bulé Ostrali saya pertama kali melihat mesin penanak nasi yang saya bawa jauh-jauh dari DKI Jakarta - hahahaha, tipikal orang Asia banget, emang di Ostrali kaga ada rice cooker apa? - melongo terehek ehek.

Mesin yang ajaib. Colok dan press "Play", ooooops press "Cook", maka 20 menit kemudian nasi pulen hadir di meja makan bule-bule Ostrali yang gila dengan Asian cuisine. Lah, ya iyalah, Australian cuisine aja boleh nyolong inspirasi dari negara-negara lain.

Lalu di Itali, selain pasta, masak nasi juga jadi andalan mengganjal perut. Ada risotto, masakan berbasis nasi milik negeri Italia. Tapi lupakan risotto sejenak. Mari tengok housemates lokal saya.

Italia masih tergolong 'terpukau' dengan segala makanan eksotik, terutama makanan Asia. Malam Sabtu mau kencan chic? Ajaklah si dia ke resto Jepang.

Kantong kempes? Okay, va bene, ke resto Cina saja.

DI Italia saya punya alat memasak nasi juga. Tunggu dulu, bukan rice cooker semewah merek Breville di bawah ini.



***
Okay, saya akui saya kadang 'memulung' barang hibahan. Salah satunya adalah rice cooker "turun temurun". Pasti kamu sudah kenal dengan Senja dan Indri, kedua artis polos Sant'Erminio (cerita mereka ada di buku Ciao Italia!). Mereka berdua punya rice cooker pink. Model dan bentuknya persiiiiiis seperti ini:



Dan itu adalah rice cooker keramat. Mereka berdua memakainya bergantian. Setiap hari. Entah berapa liter beras sudah disulap menjadi nasi oleh si rice cooker mereka ini.

Dan ketika Senja dan Indri meninggalkan Perugia, akhirnya rice cooker mungil ini jatuh ke tangan —siapa lagi? come on, that's a dumb question— saya, si pemulung!!!!

Lalu ketika saya meninggalkan Perugia, seperti tradisi rakyat populer, saya memberikannya kepada Patrizia yang tergila-gila dengan masakan Asia. Patrizia kehilangan kata-kata, "grazie GRAZIEEEE...woooww", matanya berkaca-kaca, linangan air mata hampir saja tumpah kalau saja saya tidak menjelaskan "Patrizia, ini cuma hadiah kecil!' Lah, ini memang hadiah turun-temurun. Patrizia bahagia, seperti terlahir kembali sebagai ratu di dapur. Ia tak pernah punya rice cooker seumur hidupnya. Keputusan yang tepat. Rice cooker buatan Indonesia mereka Nasional ini menjadi rice cooker pertama Patrizia yang kini siap membuat pesta makan malam chic'n'exotic.

***
Dan kini saya kembali hidup mandiri. Untuk masak nasi saya hanya perlu satu panci saja. Panci kecil/sedang dari aluminium. Banyak yang menkritik "Gama, aku belikan kamu rice cooker baru ya!", "No, thankyou."

Maka, masukkan beras basmati, air hingga setinggi 2 cm (seperti resep mama) dan voilà 20 menit kemudian, di panci saya terhidang nasi paling pulen sedunia. Atau risotto. Membuat risotto ala Italia tidak sulit tapi butuh kesabaran.

Oh Rice cooker ......... panci pemasak nasi, kau teman terbaikku!!!!! Apa jadinya hidupku tanpa dirimu???????????? huhuhuhu

gennaio 13, 2009

IIC Jakarta di Facebook

Hey hey hey,

Bagi teman-teman yang punya minat/interest/kekaguman/obsesi/passion buat Italia, jangan lupa sign up di Facebook.

Cari:
Istituto Italiano di Cultura Jakarta

Lalu jadi member.

Ci vediamo là!

Gama

gennaio 11, 2009

Sentimentalisme

Bisa dipastikan kita pasti punya sentimental item, benda sentimental. Biasanya barang ini nilai pasarannya kecil atau biasa-biasa aja, tapi makna sentimentalnya itu yang tinggi, atau bahkan priceless.

Saya punya beberapa.

Yang pertama yang mungkin paling mendesak minta di-upgrade adalah iPod saya.

iPod nano ini berasal dari era dua generasi yang lalu. Waktu itu nano berukuran maksimum 4GB dan nino ramping ini benda paling most wanted yang dijanjikan bisa menjadi teman makan pagi, siang, teman di kereta, di bus, hingga jadi teman tidurmu.



Dua tahun lalu nano ini adalah hadiah akhir tahun dari seseorang yang paling spesial, seseorang yang memikirnya pun bisa membuat jantung saya terhenti, seseorang yang membuat hidup memiliki makna dan warna berbeda.

Nano ini mahal, waktu itu. Sekarang iPod harganya sudah terjangkau, kapasitasnya pun wwuuuh besar banget, ribuan lagu bisa dimampetkan ke dalam chip sekecil itu. Bisa aja besok saya melangkahkan kaki menuju sebuah Apple Store dan menggesek kartu untuk menjinjing tas berisi iPod terkini. Bisa saja saya memesannya online. Budget sudah ada, harga bukan problema.

Masalahnya adalah, saya tidak mau —tidak bisa—membuang iPod klasik ini. Nilai spesialnya terlalu besar. Ada banyak memori dan harapan di sana. Ada banyak kesan kehidupan di dalamnya. Ada cerita mengenai cinta yang membara, asmara tanpa tara, dan cinta yang kandas. Semuanya lengkap.

... Saya mau melepas nilai sentimental value ini, saya mau sekali punya iPod yang paling keren; saya orang yang rasional, saya menggunakan pikiran dan common sense. Tapi... aneh, kala perasaan yang bicara, yang lain-lainnya tak ada lagi harga.

Sentimental value, harga emosi yang tidak bisa diukur dengan rasionalitas.

booohooohoooooooooooooo