dicembre 16, 2008

Yuda

Buongiorno mondo! || Selamat pagi dunia,

Jarang-jarang saya bisa membalas request teman-teman via blog; makasih untuk korespondensinya, setiap email / mssg / feedback sangat penting buat saya dan amat saya hargai. Kebetulan kali ini ada satu pesan dari:

Khoirunnida said ...

huoo bagus banget. tampilin fotonya yuda dong. mau liat



Nah, Yuda kabarnya terbarunya baik sekali, tapi dia pindah tempat tinggal, tidak lagi di Italia. Sekarang dia berada di Belgia, pastinya tetap bekerja keras - hey, kita bicara tentang Yuda! - dan tetap bersenang-senang mengejar gadis-gadis, sambil berpikir kapan ia bisa kembali mengunjungi keluarganya suku Berber di Algeria.

Bagi yang penasaran dengan Yuda, kisah seru Yuda ada di buku CIAO ITALIA! yang bisa didapatkan di toko buku terdekat.

dicembre 14, 2008

All Great Things (and Italian)


Matera, Basilicata, Italia

***
Kampus gue, Stuart Gallenga. Perugia, Umbria, Italia.





Advertising all'italiana

Ya beginilah.






La Cucina all'italiana


Penasaran seperti apa rupa dapur tipikal Italia ... atau "repotnya" segerombol orang Italia yang tengah masak bersama... Ini dia!






Il Colosseo



Mungkin bagi banyak Koloseum, arena gladiator terbesar yang masih tersisa hingga hari ini, adalah sebuah marvel, sebuah ikon Italia. That's it.

Gue selalu menyimpan banyak kekaguman dan memori akan Koloseum. Reminiscense yang (harusnya) gue hapus tapi gue nggak sanggup. Koloseum, monumen roman di mana gue selalu memandangnya dari jarak begitu dekat setiap kali gue ber-passegiata dengan orang yang gue kagumi.

Dengan dia. Dan kami pun menikmati Roman nights dengan gelas martini di tangan, di bawah tatapan tajam Koloseum.

Malam-malam di kota Roma itu penuh kericuhan. Malam-malam itu seakan tak akan pernah berakhir. Gue tidak mau mereka berakhir.

Dan gue berharap menyentuh bibirnya. Memberinya kecupan di telinganya, kami bersandar di tembok marmer Koloseum yang terasa hangat.

Dan berbisik "Amore, ti adoro"

...




Q & A

Me: How many espresso can be made in a minute with that machine?
You: [Insert your answer here]





Cervo, Ligura, Italia

Q: Italia = Negeri dongeng. True or false?
A: True! So true.



novembre 26, 2008

anjing makan anjing

Hoah nggak gampang jadi penulis buku (baru). Tantangannya banyak dan datang beruntun. Mungkin juga lebih simpel jadi penulis lepas untuk surat kabar, bisa lebih lepas dan lebih fleksibel mengejar tema.

But hey, that's life. Makasih untuk email yang dikirim ke unmacchiato at gmail.com - setiap email pasti dibalas begitu sempat. +dengan catatan, bukan email yang "aneh"....

huhuhu, apa sih kriteria yang aneh.

Sejauh ini semua masih oke-oke aja; ada pecinta italia yang mau kenalan (ok), diskusi langsung (mmm, rada sulit, karena lokasi yang berada di luar RI), interview (tapi kadang nggak jelas tema dan tujuannya).

ehehe sejauh ini semua masih no worries, no prob.

Hingga tiba satu email ... aneh, minggu lalu.

Email super aneh tersebut awalnya made no sense. nggak masuk akal. tapi begitu dibaca kesekian kalinya. KLIK. The coin dropped.

Email tersebut dikirim dari seorang pengacara berkebangsaan Italia yang mengaku telah menerbitkan buku di Indonesia. Orang tsb mengaku mencintai Italia, seperti saya menyukai negerinya, Italia.

Masalah berhembus ketika orang tak dikenal ini tanpa babibu menuduh saya telah menjiplak bukunya yang diterbitkan bulan Februari tahun ini, oleh penerbit yang kemungkinan bersaing di pasar perbukuan dengan penerbit di mana saya bernaung, Gagasmedia.

Orang tersebut tidak pernah membaca buku CIAO ITALIA! dan hanya mengandalkan laporan dan kata-kata editornya. Menurut "mereka" CIAO ITALIA! adalah jiplakan tulisan dan idenya.

Jelas nggak mungkin.

Karena (1) saya nggak pernah menyentuh buku yang diterbitkan orang tsb, (2) CIAO ITALIA! adalah memoir pribadi yang tidak mungkin bisa sama dengan hasil karya "buku tips" mencari cinta orang eropa; (3) simply, beda tema, bung.

Si pengacara aneh ini membuka emailnya kepada saya dengan frase non-profesional "i'll find u and kill u and ur family..."

Oke, apapun motifnya orang tersebut membuka saya mata lebih lebar lagi. persaingan di industri perbukuan ternyata anjing makan anjing, dan editor yang kurang sukses lebih memilih untuk nge-diss buku pesaing.

Kepada orang aneh & editornya (YOU KNOW WHO YOU ARE WHEN YOU READ THIS) ... makasih, kalian telah memicu saya untuk jadi lebih giat mengerjakan buku kedua saya.

And guess what? I'll send you a copy of my second book next year.

Dan mari kita lihat apakah saya masih "mencuri" buku kalian...

:-)

novembre 01, 2008

I panni sporchi si lavano in famiglia





Sementara seluruh Eropa (dan dunia) panik menyelamatkan aset dan industri perbankan mereka, Italia seperti biasa sibuk dengan problem rumah tangganya sendiri.

Dan seperti keluarga Italia dari selatan yang selalu ribut, kali ini reformasi pendidikan membelah negeri Italia menjadi dua kubu.

Pro dan Kontra.

Sudah dua minggu terakhir ini, di radio dan media Italia ngga ada berita lain selain bentrokan antara student vs pemerintah, student vs student, elit dan average. Antara left wings vs right wings. Antara borju dan pekerja.

Para guru dan dosen universitas sudah yakin karir mereka di ujung tanduk. Piazza dan jalan-jalan di Roma, Napoli, Milano yang sempit semakin sesak oleh student yang panas, bujet pendidikan Italia hendak disunat 8 Milyar Euro dalam tempo 5 tahun ke depan. Presiden mereka, Berlusconi, berada di Cina untuk mengurus bisnis, sementara negerinya berdarah-darah. Stasiun dan kampus diduduki oleh mahasiswa selama berhari-hari. Benturan fisik berujung mahasiswa terluka. Namun hati rakyat Italia yang sebenarnya berdarah.

Mau dibawa ke mana masa depan negeri mereka yang indah?


http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/7698321.stm

settembre 16, 2008

/sueño/ sleepy or dream?

Dari dulu saya ingin belajar bahasa Spanyol dan — entah kapan — saya akan merealisasikannya. Mungkin akhir tahun ini (yeah, doubt it) bisa juga tahun depan.

Anyhow... ternyata bahasa Spanyol nggak membedakan antara "ngantuk" dan "mimpi". Keduanya konsep tersebut diwakili oleh satu kata saja:

« sueño
».
tener sueño = i feel sleepy
el sueño = dream

Aneh juga orang-orang Spanyol ini. Mereka bertualang hingga ke Amrik Selatan dan menganugerahkan Eropa sejumlah kosa kata: naranja, banana, tomato ... tapi mimpi dan ngantuk, hanya
sueño.

sueño = mimpi
Rosalia (ia ada di bagian awal cerita di buku CIAO ITALIA!) akhirnya membantu mewujudkan mimpi partner dan suaminya, Barry.

Di usia paruh baya, middle-aged if you want the chic term, Barry keukeuh melaksanakan satu hal yang selalu ingin ia lakukan: tinggal dan bekerja di London, UK.

Menjadi pengantin baru bukan halangan. Sang istri, Rosalia, akhirnya setuju. Dia akan "ikut suami", menetap di ibu kota Inggris mulai bulan depan.

Demi cinta, Rosalia rela meninggalkan karir dan pekerjaannya (Rosalia setiap bulannya bepergian, business travelling, di Asia untuk mengontrol produksi perusahaan) ... Tinggal di UK bukanlah mimpi Rosalia. Berkali-kali ia menegaskan hal ini kepada saya. Demi
sueño sang suami, Rosalia melepas sueño-nya sendiri, meninggalkan rumahnya, kucing kesayangannya.

sueño, mimpi. tidak ada kata terlambat untuk mewujudkannya.

settembre 02, 2008

CIAO ITALIA! feature on Femina

CIAO ITALIA! featured on Femina



Majalah Femina 3 September 2008
RUBRIK: BUKU
CIAO ITALIA!
Gama Harjono/GagasMedia/2008
Berencana melanjutkan studi di luar negeri?
Italia bisa menjadi alternatif. Seperti catatan
Gama di buku ini, belajar bahasa Italia sambil
pelesiran di kota-kota tua di Italia dan alam
pedesaannya yang menakjubkan.
Sambil kuliah, Anda juga akan lebih menyelami
kultur masyarakatnya, berbagai festival dan
seninya, masakannya, sampai pesta-pesta
mahasiswa yang membuat Anda ingin
segera berangkat.





Oleh Noer Soetantini

suarasurabaya.net| Judul Buku : Ciao Italia ! Catatan Petualangan Empat Musim
Penulis : Gama Harjono
Penerbit : Gagas Media
Tebal : 285 halaman


Un cocomero tondo tondo che voleva conquistare il mondo che valeva che tutti gli altri superare un bel giorno si mise a viaggiare.
Begitulah cuplikan lagu anak-anak Italia yang artinya, semangka yang bundar ingin menguasai dunia dan mengalahkan yang lain, suatu hari yang indah ia pun berpetualang.

Lagu ini ditempatkan penulis di awal buku yang menceritakan petualang serunya selama setahun di Italia. Kenapa memilih Italia ? “Saya ingin mengenal Italia secara intim dari perspektif insider. Rasa ingin tahu saya terpicu ketika saya mengenal dan berinteraksi dengan komunitas Italia di Australia,”begitu ungkap penulis dalam intronya.

Sinopsis :
Apakah Anda sudah pernah ke Italia ? Kalau ya, apakah seindah yang digambarkan penulis dalam buku ini. Kalau belum, Anda dipastikan ingin pergi ke sana begitu usai membaca buku ini.

Ciao Italia ! Penulis mengajak pembaca melewati ruang-ruang kelas universitas di Italia, galeri seni ternama sampai pesta-pesta mahasiswa Eropa yang seru. Perjalanan penulis akan membawa pembaca menikmati tempat-tempat di pelosok mediterania, mulai dari kota metropolis berusia lebih dari dua milineum hingga desa terpencil yang menyimpan banyak harta karun seni dan kejutan tak terduga.

Hiruk pikuk Kota Roma, Milan hingga Venesia, oleh penulis dipaparkan secara gamblang. Begitu pula dengan beragam jenis makanan mulai yang termurah sampai termahal, yang ada di beberapa restoran.

Plus tip backpacking ekonomis seperti mendapat akomodasi gratis di Eropa, mencari tiket, hostel dan makanan murah. Setiap kisah dalam buku ini ditoreh dengan sebuah kejujuran dari seseorang yang akhirnya jatuh cinta terlalu dalam pada Italia.

Gaya bertutur penulis disertai foto-foto menarik, cukup membantu kita mempermudah apa yang ingin disampaikan. Ibaratnya, kalau pembaca ingin tahu Italia, bacalah buku ini. Pembaca seolah-olah dilibatkan dalam petualangan penulis yang selama setahun menimba ilmu di sebuah universitas di Italia.

Deskripsi :
Mengoleksi buku ini tidak akan rugi. Apalagi bagi mereka yang suka berpetualangan ke negara-negara berarsitektur romantis maupun kuno. Ibaratnya, buku ini menjadi guidance, kelak jika ingin bepergian ke Italia.

Pernak-pernik Italia ditampilkan secara detil dalam buku ini, sehingga kalau pun akan pergi ke sana, dijamin tidak ada yang tertinggal dan terlupakan. Buku ini memberikan manfaat tidak hanya bagi mereka yang suka berpetualangan, tapi bagi siapa saja yang ingin menambah wawasan tentang negara Italia, mulai dari budaya sampai kondisi ekonomi kota Roma.

agosto 30, 2008

Bell'Italia

Q: Gimana cara melupakan Italia?
A: Dengan kembali ke sana.


Umbria, Italia

agosto 12, 2008

Materi universitas - SMU - Eropa

Sambil menyelam minum air.

Sambil mencari bahan untuk studi post-graduate, saya temukan bahan yang berkenaan dengan Eropa dan Sejarah Eropa.

Semoga bermanfaat.

luglio 30, 2008

Memburu Buku Bargain OK, tapi ...



DI Italia sering kali kita temukan penjual buku bekas di piazza-piazza. Bukunya bervariasi, ada yang bertopik menanam bunga mawar, sejarah Fascisme, sampai fiksi.

Harganya itu loh, menggoda. Murah banget.
Gue pernah dapet yang satu buku cuma satu Euro.
Di foto milik temen gue ini (Q!) buku-buku itu dilego per dua Euro.

Bikin orang nggak tahan nggak beli, kan?

Bacanya asik, nafsu "dapet bargain" udah sampe ke ubun-ubun ... tapi ntar bawa pulangnya REPOT.

Sumpah, sekarang airlines makin ketat.
Gue pernah "menumpang" Emirates dan maks. 20 kg diberlakukan dengan semena-mena. Kejam nian, dia kaga peduli elo student atau stock broker.

Para mahasiswa RI yang suka baca, ingatlah kapasitas airlines sebelum kalian menumpuk buku hingga 10 kg — waks, ini sih gue... beli bukunya taon lalu, dampak repotnya masih sampe sekarang.

Yeah, buku-buku yang gue beli di Itali 2006-2007 masih ada dan menunggu dibaca.

Oufff...

luglio 14, 2008

Quanto paghi di solito?

Usai rilis dan launching CIAO ITALIA! —dan juga promo buku tersebut— surprisingly gue masih punya waktu luang meskipun sebenarnya gue lumayan sibuk ngambil job-job kecil di sana-sini.

Gue sering maen-maen ke Institut Kebudayaan Italia, yang dikenal oleh warga Jakarta dengan inisialnya: IIC. Letaknya di Menteng.

Gue biasanya dateng untuk make internetnya — yes, di meja gue yang lama, yang sampai sekarang masih kosong. Itu meja yang paling bagus sebenernya di kantor sekretariat.

Gue tengah asyik browsing. Tiba-tiba ada interupsi dari staf paling senior di kantor tersebut, ibu Laila, yang tampak gundah gulana. Rupanya dia sedang ngerjain terjemahan artikel dan butuh informasi urgent dari Gianni, satu dari dua staf IIC yang tulen orang Italia. Gianni jago berbahasa Indonesia.

Laila: “Gianni, apa bahasa Italia untuk tempat di mana prostitusi ditangkap dan direhabilitasi. Apa bahasa Itali untuk panti rehabilitasi?”

Gianni (wajah kaget, mata terbelalak): “Ha? Laila, kenapa kamu nanya hal ini? Di Italia, nggak ada tempat seperti itu. Prostitusi yang ketangkap biasanya cuma menginap semalam di kantor polisi lalu dilepas lagi. Nggak ada panti.”

Laila: “Jadi apa yang aku tulis untuk terjemahan artikel ini?”

Gianni: “Nggak tau!” Lalu Gianni mulai cerita mengenai tren baru di negeri Pasta sana, yakni para transvestite Brasil she-male yang operasi plastiknya ‘bagus sekali’.

Perhatian kami tersedot, kuping kami berdiri menangkap setiap informasi akan bisnis cinta di Italia, yang ilegal namun eksis dan semarak setiap malamnya. Penjaja cinta dihina-dina namun dibutuhkan. Di kota-kota besar Italia, seringkali polisi dan carabinieri (polisi militer) melakukan operasi di ruas-ruas jalan yang “hot”.

Edwin (staf pendidikan): “Gianni, quanto paghi di solito?”; Oke, Edwin sebenarnya bermaksud berapa “berapa bayaran «transaksi cinta» di sana” tapi yang keluar dari mulutnya sedikit berbeda “Gianni, biasanya kamu bayar berapa?”

Kantor sekretariat tergelak-gelak, tawa meledak.

Saya: “Ya Gianni. BERAPA biasanya kamu membayar?”

Gianni bete. Dia mengaku selalu setia dengan istrinya dan TIDAK pernah menggunakan jasa prostitute.

luglio 12, 2008

Ciao a tutti!

Terima kasih kepada semua pembaca CIAO ITALIA! yang telah berbagi pengalaman mereka melintasi ruang kelas dan pesta-pesta mahasiswa di Italia. CIAO ITALIA! tidak akan pernah terwujud tanpa passion kalian untuk negeri molek bernama Italia.

Oke, untuk pecinta CIAO ITALIA! yang masih 'sedikit' penasaran dan mau tahu wajah-wajah para protagonis yang muncul di awal petualangan. Inilah mereka ...

Grazie mille!



(Dari kiri ke kanan) Alessio Meloni, Alan Whykes, Jens, Vincenzo Liso─mereka bermain gitar dan bernyanyi bersama di pesta musim panas di apartemen Via Fra Bevignate.

giugno 26, 2008

Sayembara “Review CIAO ITALIA!”


Manisnya Italia di Mata Gama
http://gagasmedia.net/index.php?option=com_content&task=view&id=288&Itemid=1
Wednesday, 02 July 2008
Perjalanan Gama dimulai dari kota legendaris, Roma. Roma dengan beragam sudut sejarah yang mengesankan tempat Colosseum berada. Lalu duaratus kilometer dari Roma, tibalah di Perugia tempat ia kuliah. Di Universita per Stranieri ini Gama belajar bahasa Italiano.

Sebagian besar tempat-tempat penting di Italia dari Utara hingga Selatan juga ia dijejakinya.
Dari awal hingga akhir buku Ciao Italia menyuguhkan info seru dan membuat kamu iri.

Hah iri? Pasti, terutama bagi kamu yang belum pernah menjelajah desa-desa penting dan bersejarah di Italia. Misalnya, Cinque Terre sebuah desa yang nampak seperti aslinya di abad 16. Cat tembok dan genteng rumah didominasi warna kuning dan merah.

Dan di situlah warisan kebudayaan di jaga ketat. Di negeri tua itu ternyata tersimpan banyak pemandangan desa-desa tradisional yang menakjubkan. Berada di Italia adalah bak berada ruang sejarah masa lalu.

Namun untuk berpetualang di negeri yang dikenal dengan kejahatan terorganisir alias sarat mafianya butuh nyali besar. Saat akan berkunjung ke kota Naples, pesan-pesan seram penuh rasa was-was yang membuat Gama tergetar. Namun, kenekatannya tetap menggiringnya pergi menelusuri Naples. Sebuah kota yang memiliki tingkat kejahatan tinggi. Kota itu terletak di bawah Gunung Vesuvius yang aktif, di mana seks diobral dengan transparan.

Menyimak buku ini bak menonton acara televisi Globe Trekker yang dipandu Ian Wright. Sebuah acara jalan-jalan ala backpacker ke berbagai negeri. Bukan melebih-lebihkan. Sebab di Ciao Italia petualangan menyusuri negeri yang sarat peninggalan sejarah itu padat info dan foto-foto yang mengagumkan. Juga berisi tip dan trik alokasi bujet minimal untuk pelajar dalam setahun.

Buku Ciao Italia, Petualangan Empat Musim adalah wujud kekaguman Gama saat mengena manisnya Italia. Dalam buku ini juga bisa kita temukan tip backpacking ekonomis: dari mencari tiket, hostel hingga makanan murah.


Kamu sudah menikmati petualangan menjelajahi negeri spaghetti melalui buku Ciao Italia? Kalau sudah, saatnya kamu berbagi cerita dengan kita!

Caranya mudah saja, tuliskan review-mu dan menangkan paket buku dari GagasMedia. Bukan itu saja lho, pemenang akan mendapat souvenir spesial yang keren abis dan asli dari Italia. Ini dia nih, souvenirnya!

1. Figurine kayu Pinocchio. tinggi 10 cm, lebar 5 cm dan tebal 1 cm;
2. Model menara Pisa. Panjang 10 cm, lebar 5 cm;
3. Model menara Pisa. Panjang 10 cm, lebar 5 cm. Walau jenis dan ukuran souvenirnya sama, tapi souvenir nomor 3 ini beda lho sama nomor 2.

Tunggu apa lagi?! Tuliskan review Ciao Italia! kamu dengan gaya bebas, bisa panjang atau singkat, tapi jangan keluar dari tema berikut ini.
1. Apa pendapatmu tentang negeri Italia, sebelum dan sesudah kamu membaca Ciao Italia!
2. Bagian apa di Ciao Italia! yang paling berkesan buat kamu? Sebutkan alasannya ya!

Bagi yang punya blog sendiri, posting saja review tersebut di blog kamu lengkap dengan satu buah foto kamu dan buku Ciao Italia-mu!

Nah, bagi yang tidak punya blog, jangan khawatir! Kamu masih bisa berpartisipasi dengan mengirimkan review dan foto tersebut ke email ini: unmacchiato@gmail.com

Jangan lupa untuk mencantumkan nama dan alamat lengkap. Review kamu ini kita tunggu selambat-lambatnya tanggal 15 Agustus 2008. Tidak usah takut dipilih dengan asal, karena karya yang terpilih dinilai langsung oleh Gama Harjono—penulis Ciao Italia! dan redaksi GagasMedia.

giugno 20, 2008

Catatan Petualangan Empat Musim di Italia Diluncurkan - Media Reviews

KOMPAS
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/06/17/23461333/catatan.petualangan.empat.musim.di.italia.diluncurkan.


Catatan Petualangan Empat Musim di Italia Diluncurkan

Selasa, 17/6/2008 | 23:46 WIB

JAKARTA, SELASA - Ciao Italia! Catatan Petualan Empat Musim, buku pengalaman Gama Harjono, pelajar Indonesia yang sempat berada di Italia selama setahun, Selasa (17/6) diluncurkan dan dibedah di Institut Kebudayaan Italia, Jakarta.

Buku yang diterbitkan oleh Penerbit GagasMedia Jakarta tahun 2008 itu diperkuat dengan foto-foto dan memberikan tip dalam melakukan perjalanan ke Eropa. "Bagi saya ini semacam memoar," kata Gama Harjono.

Pemimpin Redaksi GagasMedia, Windy Ariestanty, mengatakan, buku genre lifestyle ini mengajak pembaca melewati ruang-ruang kelas universitas di Italia, galeri seni ternama, sampai pesta-pesta mahasiswa Eropa yang seru.

"Perjalanan penulis akan menggiring pembaca menikmati tempat-tempat di pelosok Mediterania, mulai dari kota metropolis berusia lebih dari dua milenium hingga desa terpencil yang menyimpan banyak harta karun seni dan kejutan tak terduga. Juga ada tip bacpacking ekonomis:mendapat akomodasi gratis di Eropa, mencari tiket, hostel, dan makanan murah," ujarnya.

Artis Bella Saphira, juga tampil mengisahkan pengalamannya ketika tinggal di Italia selama sebulan. "Buku ini cukup mewakili suasananya, makanannya, dan orang-orangnya," ujarnya. "Saya jatuh cinta dengan Italia, sampai kursus segala," akunya.

Sebaliknya, Filomena Vaccaro yang asal Napoli, Italia, dan kuliah di Jakarta, juga bercerita tentang Italia seraya membandingkannya dengan Indonesia. "Tinggal di Jakarta saya seperti berada di Napoli. Macet, panas, dan banyak pencopet," katanya. (NAL)


MEDIA INDONESIA - 19 Juni 2008
http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=MTA0MzM=

Tren buku lokal
Di Indonesia sendiri, baru-baru ini tampaknya ada kebutuhan pasar yang terus meningkat akan buku-buku catatan perjalanan. Beberapa menekankan bahwa untuk berjalan-jalan, terutama ke luar negeri, tak butuh biaya supermahal.
Keliling Eropa 6 Bulan Hanya 1.000 Dolar! dari Marina Silvia contohnya. Bagian awalnya berfokus pada tips mendetail tentang caranya merencanakan perjalanan, menentukan besarnya pengeluaran, dan menunjukkan cara berhemat.
Tapi The Naked Traveler-nya Trinity lebih menekankan kehausan melakukan perjalanan lewat kekayaan pengalamannya di tujuan yang begitu beragam.
Sementara Ciao Italia! karya Gama Harjono yang baru diluncurkan Selasa (17/6) lalu adalah catatannya mengenal Italia selama setahun tinggal di sana.
Apa pun alasannya, cukup banyak seleksi buku berbeda yang mampu menumbuhkan hasrat untuk melakukan perjalanan. Mulai dari alasan ego, pencerahan, perbaikan diri, keluar dari rutinitas, atau melihat dunia. *


REPUBLIKA


Koran » Pustaka
Minggu, 29 Juni 2008 11:02:00

Petualangan Empat Musim di Italia

''Jikalau saya memperoleh satu dolar setiap kali ditanya 'Mengapa Italia?', sekarang saya pasti sudah jadi miliuner.'' Kalimat yang diutarakan Gama Harjono dalam pengantar bukunya itu mungkin terasa berlebihan dengan menyebut angka empat kali lebih besar dari penduduk negeri ini. Tapi, bisa dipahami. Gama cuma ingin menegaskan betapa ia menyenangi negeri yang disebutnya kaya akan seni itu.

Ia memang membuktikan ucapannya. Setahun belajar di Italia, catatannya tentang negeri ini memenuhi blog pribadinya. Dalam kurun waktu itu, ia melintasi empat musim. Tak ia bayangkan sebelumnya, catatan-catatan itu menarik minat Windy Ariestanty, pemimpin redaksi penerbit GagasMedia. Lahirlah buku Ciao Italia! Catatan Petualangan Empat Musim.

Diluncurkan di Institut Kebudayaan Italia Jakarta, Selasa (16/6), buku setebal 287 halaman ini tidak sekadar mengisahkan perjalanannya menuju Italia dan petualangannya di sudut-sudut negeri itu, tapi juga disertakan foto-foto dan tips melakukan perjalanan ke Eropa. ''Buat saya, buku ini bisa menjadi navigasi buat yang mau ke sana,'' ucap Windy.

Gama mengakui rasa ingin tahu terpicu ketika ia mengenal dan berinteraksi dengan komunitas Italia di Australia. ''Sikap mereka yang hangat dan penuh kekeluargaan meninggalkan kesan tersendiri,'' tulisnya. Januari 2004, merupakan kali pertama ia menginjakkan kaki di Republica Italiana. Tapi, itu hanya sehari. Ternyata, pandangan pertama melahirkan cinta. Sejak itu ia merasa yakin, pasti kembali ke Italia.

Keyakinannya terbukti. Setelah lebih dari dua tahun melakukan persiapan --termasuk ikut tiga semester kelas bahasa Italia di Sidney, Juli 2006 ia memenuhi keinginannya, kembali ke Italia. Mulailah Gama membuat catatan di blog pribadinya dalam penjelajahannya di sudut-sudut negeri itu. ''Setahun di Italia adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah saya ambil,'' kata dia.

''Oh, my course starts next week.'' Itulah kalimat pertama yang meluncur dari mulut Gama ketika kali kedua menginjakkan kaki di Italia. Gama ke Italia tak hendak berwisata, melainkan sebagai seorang pelajar. Status itu dipilihnya agar dapat merasakann menjadi orang Italia sesungguhnya. Selain mencari pengalaman sebagai orang Italia asli, Gama juga melakukan perjalanan keliling negeri itu. Seluruh kisah itu ditulisnya dalam bukunya itu.

Andai bukan karena seorang teman, catatan-catatan Gama dalam blog pribadinya, boleh jadi, tidak seperti sekarang ini. Sekali waktu, Windy Ariestanty mendapat kabar dari seorang temannya. Sang karib mewartakan, ada sebuah blog yang mengisahkan Italia secara detail. Windy penasaran. Sampai di puncak malam ia berselancar di internet, mencari tahu blog yang diceritakan temannya. Tapi, wualaah, berbahasa Italia, bahasa yang tidak dipahaminya. ''Saya sempat putus asa,'' ucap Windy.

Di tengah pencarian, dia menemukan tulisan dalam bahasa Inggris. Semangatnya kembali bergairah. ''Saya tinggalkan pesan, mau buat buku (dari blog tersebut),'' kata dia. Selain pesan lewat e-mail, ia juga menerakan nomor kontaknya. ''Waktu itu saya berpikir, ini ada materi yang menarik. Cukup akurat, membawa kita ke Italia,'' kata dia. Windy lantas membawanya ke rapat redaksi. Usulannya pun diterima.

Beberapa hari berselang, Gama meneleponnya. Keduanya lalu bertemu. Kala itu, tahun 2007. Mereka sepakat menerbitkan catatan-catatan Gama dalam bentuk buku. Tapi, persoalan baru muncul: Bagaimana menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia? ''Prosesnya berjalan sekitar setahun, tiga kali ganti editor,'' kata Windy soal proses penerjemahan yang dilalui.

Gama mengawali buku ini dengan penjelasan mengapa ia memilih belajar di Italia. Bagian berikutnya ia mengisahkan perjalanannya hingga mewujudkan impianya menginjakkan kaki kembali di negeri itu, sampai petualangannya ke Florence, daerah yang disebutnya molek, banyak dikunjungi wisatawan mancanegara. Gama melengkapi bukunya dengan potret perjalanannya.

Windy mengakui setelah membaca buku ini pikirannya berubah. Semula dia tak bercita-cita pergi ke Italia. ''Gama berhasil mempengaruhi saya sehingga saya ingin ke sana,'' kata Windy. Windy menangkap kesan dari tulisan Gama bahwa setiap sudut negeri itu adalah sejarah. ''Buku ini cukup mewakili apa yang pernah saya rasakan. Suasananya, makanannya. Ya, begitulah,'' sahut Bella Saphira, artis yang pernah mengunjungi Italia. Untuk mengenal Italia, kata Bella, buku ini sangat membantu.

Bella juga menyenangi negeri ini. Cintanya pertama kali tertambat di kota Roma. ''Di kota Roma, setiap sudutnya kita bisa berfoto. Salah satu kebiasaan orang Indonesia, suka berfoto. Roma, di segala sudutnya kita bisa berfoto,'' kata Bella.

Buku Ciao Italia! Catatan Petualangan Empat Musim, tak sekadar mengenalkan sudut-sudut Italia. Buku ini juga mengajak melewati ruang-ruang kelas di negeri itu, galeri seni ternama, sampai pesta-pesta mahasiswa Eropa yang seru. Bagaimanapun, Gama telah membawa pembaca bukunya ke Italia, sebelum mereka menginjakkan kaki di negeri itu. bur

( )


SUARA PEMBARUAN

Siapkan Biografi

sp/irawati diah astutiBella Saphira

Lama wajah cantik Bella Saphira tidak muncul di layar kaca. Tetapi bukan berarti lajang kelahiran Magelang 6 Agustus 1973 itu hanya berpangku tangan. Dia masih tampil di berbagai kegiatan off air, terutama sebagai penyanyi dan MC.

Kesibukan Bella juga bertambah mempersiapkan album rekaman terbaru, menulis buku biografi, dan kursus bahasa Italia. Kini, bertambah satu lagi yang pasti akan mengobati kerinduan penggemarnya. Ya, Bella akan kembali menunjukkan kemampuan aktingnya di layar kaca. Ketika ditemui saat peluncuran buku Ciao Italia, karangan Gama Harjono, di Pusat Kebudayaan Italia, Jakarta, Selasa (17/6), Bella mengaku telah comeback ke layar kaca.

"Saya kembali lagi berakting di televisi setelah sekian lama. Hanya saja yang ini bukan sinetron, tetapi acara situasi komedi berjudul Sketsa," katanya. Sarjana Ekonomi Trisakti itu tidak merasa terbebani tampil di acara komedi. "Selama ini saya sering menjadi bintang tamu di panggung komedi, jadi saya tidak canggung. Bahkan untuk yang ini saya benar-benar tidak memikirkan honornya. Yang penting fun," ungkap Bella.

Pilihan tampil di komedi situasi dilakukan mantan finalis Gadis Sampul itu dengan berbagai pertimbangan. Salah satunya karena dirinya tidak ingin terikat dengan jadwal syuting yang terlalu ketat. "Kesibukan saya sehari- hari sudah sangat padat. Saya ingin punya waktu lain untuk mengerjakan hal-hal yang saya impikan seperti album dan buku. Jadi, syuting seperti sinetron yang striping benar-benar direm," ucap aktris yang antara lain membintangi sinetron Rumah Beton, Di Antara Dua Pilihan, Dewi Fortuna, dan Wah Cantiknya II itu.

Menurut Bella, buku yang ditulisnya berkisah tentang dirinya sendiri. Buku itu sebenarnya sudah hampir selesai. Namun Bella ingin buku itu diluncurkan bersamaan dengan single dari album terbarunya. "Semua masih dalam proses. Semoga dalam tahun ini semua selesai. Doakan ya," ujarnya lagi. [W-10]


KROSCEK

Buku 'Ciao Italia' Di Launching

Jakarta – Penerbit buku PT. Gagas Media bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Italia, dan Gramedia, hari ini menggelar acara 'Book Launch and Book Discussion Ciao Italia', di Pusat Kebudayaan Italia, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (17/06) siang.


'Ciao Italia', sebuah buku tentang bagaimana suka duka penulisnya dalam melewati suka duka selama menginjakkan kaki di Italia, dalam melewati dan menikmati tempat-tempat di pelosok Mediterania saja. Tapi juga dari kota metropolis berusia lebih dari dua milenium hingga desa terpencil yang menyimpan banyak harta karun seni dan kejutan tak terduga.

Menurut penulis buku 'Ciao Italia', Gama Harjono, "Dalam buku ini, saya ingin mengajak masyarakat Indonesia untuk melewati ruang-ruang kelas Universitas di Italia, galeri seni ternama, sampai pesta-pesta mahasiswa Eropa yang seru, serta merasakan bagaimana makanan khas Italia yang terbuat dari bahan-bahan asli dari Italia di sini," papar Gama kepada krosceknews.com, ketika ditemui usai acara 'Book Launch and Book Discussion Ciao Italia', di Pusat Kebudayaan Italia, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (17o/6) siang tadi.

Gama pun mengakui, bahwa setiap kisah dan suka-duka saat berusaha mengenal Italia, ia torehkan dengan sebuah kejujuran, dan akhirnya ia sampai mencintai 'Negeri Pasta' ini, seperti mencintai bangsa sendiri.
Rini/krosceknews.com


Available online click here, or here




Ciao Italia: Catatan Petualangan Empat Musim
Penulis: Gama Harjono
Penerbit: Gagasmedia, 2008

Apakah berkeliling Eropa salah satu impianmu? Atau bersekolah di luar negeri dan bergaul dengan teman-teman baru yang selalu haus petualangan? Buku ini mengajakmu untuk melewati ruang-ruang kelas universitas di Italia, galeri seni ternama, sampai pesta-pesta mahasiswa Eropa yang seru.

"Ciao Italia" akan membawamu menikmati tempat-tempat di pelosok Mediterania, mulai dari kota metropolis berusia lebih dari dua milenium hingga desa terpencil yang menyimpan banyak harta karun seni dan kejutan tak terduga (buktikan dengan foto-fotonya yang fantastis). Plus tip backpacking ekonomis: mendapat akomodasi gratis di Eropa, mencari tiket, hostel dan makanan murah selama perjalanan.

Setiap kisah dan suka-duka saat berusaha mengenal Italia, ditoreh dengan sebuah kejujuran dari seseorang yang akhirnya terlalu mencintai negeri Pasta ini.

giugno 16, 2008

V-rolicking in Lyon - The Jakarta Post, 15 June 2008

V-rolicking in Lyon

Gama Harjono , Contributor , Lyon, France | Sun, 06/15/2008 10:17 AM | Travel

Discovering traces of the Gallo-Roman civilization in the French gastronomic capital on a bicycle proves a compelling experience.

The French lady next to me was so polite to offer me her aisle seat. My regional train ran right on time, briskly traversing the Vaucluse up to the Rhone region. Yes, it felt good to be back in "the Hexagon", a moniker for France with its six-sided shape.

It was just past six in the evening when the countryside turned into blocks of condominiums as the train penetrated Lyon's southern fringe.

My friend Kevin was waiting for me at Lyon-Perrache station. He was my host for the next few days. We took the underground Métro toward his place in the quaint district of Pierre Scize.

So I finally set foot in Lyon, France's second largest city.

Or is it the third largest?

It's an age-old enigma. Ask any self-respected French man or woman the question and answers alternate between Lyon and Marseilles. The justification is that Lyon boasts a more ample urban agglomeration whilst Marseilles claims to have more city-dwellers.

We ditched the Métro for a bus, a more confortable option tham walking the streets -- you are often shouldered by haggard Lyonnais coming home from work.

We passed the elegant 18th century Hotel de Ville -- your typical French town hall with a Tuilleries-inspired dome. Just around the corner, the hangar-shaped Opéra de Lyon glistened flirtatiously.

This is the heart of Lyon; if it's happening, it's here. The hip district includes the Place des Terreaux square. Crowds throng the many outdoor cafes for an aperitif session and perhaps an alfresco dinner.

The enormous fountain of Bartholdi is sure to catch anyone's attention. It is an immense ensemble of a life-sized female statue riding a cart pulled by four ferocious horses.

The bus quickly drifted toward the up-market Pierre Scize district, passing the confluence point where the glint and gleam of Europe's major rivers, the Rhone and the Saone, meet right in the center in this French metropolis.

Taking in the panorama, the spire-studded medieval quarter of Vieux-Lyon was greeting me, welcoming me to the gastronomic capital of France.

Lyon is regarded by many as the center of France's fine food. The local cuisine, known as le bouchon, offers unpretentious meat-based dishes of worldwide acclaim. Beware though, warned Kevin, many had turned bouchon's popularity to cash, taking away from its quality.

At Kevin's place, I asked him and his roommate Claire how life was in their neck of the woods.

"We've only been here for about two years, but Lyon is great. You have all you need, from state-of-the-art health services to worldly entertainment, sans the claustrophobic feeling that constantly badgers the Parisians."

Kevin prepped me the next day on how to get around town -- in an eco-friendly way, that was.

I stood staring at a computerized unit resembling a parking meter. It was one of the many V*lo'V terminals, a communal bike rental service, conveniently installed all over the city.

"It's affordable, the first half hour is free then it's just 1 euro (US1.50) an hour. You can often get across town quicker than you can by car," said Kevin. So I gave it a go.

Getting on a Vélo'V is pretty simple once you get a subscription card. To get one, however, can prove a complicated task if you do not have a French credit card. Designed by JCDecaux, the V*lo'V accepts only French credit cards. Kevin helped me obtain one.

Now on my own, my one destination was decidedly the Fourvière basilica. It was a quick ride pedaling my v*lo up the slope, followed by a trip on one of the sky trains.

Despite its classical poise, the basilica of the Notre-Dame de Fourvière is quite a new building, at least by European standards. La Fourvière was constructed in 1870 to praise the Holy Virgin for the salvation of the city from the Prussian armies' onslaught.

The Fete des Lumières (Light Festival) is also associated with this church. A Virgin Mary statue was to be installed at La Fouvière on 8 Dec., 1852. The event was, however, canceled due to a massive storm hanging over Lyon. Unexpectedly, the sky cleared up. The people then lit lanterns on their window sills and now, every year on 8 Dec., the people mark the Fete des Lumières.

Lyon has always been considered a strategic center. Agrippa, once a Roman general and later a consul, selected Lyon as a transportation hub to move his legions between Orl*ean and Arles, and Geneva and Aosta, linking Lyon with the rest of Gaul.

The annual assembly of over 60 Gallic tribes took place on the hills of what is now the Croix-Rousse quarter.

There are few places in France better than Lyon to discover Roman ruins and monuments.

Julius Caesar chose Lyon as the base camp for this conquest of Gaul. Augustus later declared it the capital of the empire's "Three Gauls" (Aquitaine, Belgium and Lyon).

Lyon was a sure winner with the Romans. The ancient town of Ludgunum produced two Roman emperors, Claudius (10 BC) and Caracalla (AD 188).

I quickly detoured toward the hillside of Fourvi*re to find one of France's most important archeological sites. Fouvière was the site of the old forum and saw numerous temples, baths, an Odeon, an amphitheater and even a circus arena in its heyday.

To remember its glorious past, the French built a museum. The museum of the Gallo-Roman Civilization exhibits the Claudian Tables, a record of speech made by Claudius in 48 AD which granted the citizens of Gaul the right to become senators.

Luckily, Lyon's Gallo-Roman amphitheater survived the barbarian invasions. Rebuilt by Emperor Hadrian, it was host to grand concerts and spectacles.

Despite its dilapidated state, it remains functional. A university choir was occupied with a recital, as I was leaving.

I took my bike headed for the Presqu'ile, Lyon's city center. The Vélo'v is such a winner with the French. With a terminal installed every 500 meters, the urban bike proves to be extremely handy for city residents and those in the suburbs even take them to work.

It seems everyone is happy with the arrangement, according to a national survey. JCDecaux replaces stolen or broken bikes fast enough, in return for advertising space. Following Lyon's success, its big sister Paris adopted the bikes in late 2007.

France is of course synonymous with its old quarters. This equates to Vieux-Lyon, a UNESCO-heritage site noted for its Renaissance architectonic heritage. Lyon's cobblestone old town seems perpetually radiant.

The main sight in Vieux-Lyon is St. Jean cathedral. Many come here to let time pass sitting and looking at its austere fa*ade. The 12th-century church houses a beautiful 14th-century astronomical clock, supposedly St. Louis' relic.

Vieu-Lyon's best-kept secret are the traboules. These "corridors" between buildings and courtyards run perpendicular to the river and were originally used as a passageway by silk workers. Many of the traboules are accessible to public.

In addition to its old heritage, Lyon has its fair share of museums and galleries. My personal favorite was the Musée des Beaux-Arts. Housed in a 17th-century Benedictine abbey, this museum offers remarkable collections from Egyptian temple doors to Rubens' masterpiece, The Adoration of the Magi.

The museum is just a backdrop to the animated Place de Terreaux next door. I pulled in my vélo at one of the many cafes.

Another favorite playground in town is Place Bellecour. At 310 meters by 200 meters, it is one of Europe's largest squares. Promenades, jogging and French ball games are practiced in this shaded open area.

Lyon is a great urban space and most noted for its mural trompe d'oeil, most of which illustrate its local characters.

A great example is the gigantic fresco in the rue de la Martinière. This theater depicts the men and women who made Lyon famous, from the Lumière brothers to Antoine St-Exupéry. These great murals can be found in any of Lyon's nine arrondissements and along the river banks.

giugno 13, 2008

Book Launch & Book Discussion Ciao Italia

http://gagasmedia.net/index.php?option=com_content&task=view&id=275&Itemid=1

Book Launch & Book Discussion Ciao Italia

Written by Newsroom
Friday, 13 June 2008

Siapa juga yang nggak pengen ngerasain nikmatnya pizza asli Italia? Negara yang satu ini, emang banyak dilirik para turis sebagai salah satu negara yang eksotik dan kental nilai budayanya.

Tapi... kalo nggak kesampaian datang ke sana, jangan sedih! Karena di launching buku Ciao Italia, kamu bisa merasakan indahnya sensasi negara itu tanpa harus jauh-jauh datang ke sana. Nggak perlu takut dibohongin! Karena penulisnya adalah orang asli Indonesia yang sempat live in di Italia, lho. So, buruan catat agendanya ya!

Hari/tanggal: Selasa, 17 Juni 2008
Pukul: 14.00 WIB - selesai
Tempat: Pusat Kebudayaan Italia, Jl. HOS. Cokroaminoto 117, Menteng, Jakarta Pusat
Pembicara:
- Gama Harjono (Penulis Ciao Italia)
- Bella Saphira (Artis)
- Filomena Vaccaro (Warga Italia)

giugno 12, 2008

Ciao Italia!

Gramedia Plaza Semanggi - 9 Juni 2008




OUT NOW AT A GOOD BOOKSHOP NEAR YOU! Available online click here





Ciao Italia: Catatan Petualangan Empat Musim
Penulis: Gama Harjono
Penerbit: Gagasmedia, 2008

Apakah berkeliling Eropa salah satu impianmu? Atau bersekolah di luar negeri dan bergaul dengan teman-teman baru yang selalu haus petualangan? Buku ini mengajakmu untuk melewati ruang-ruang kelas universitas di Italia, galeri seni ternama, sampai pesta-pesta mahasiswa Eropa yang seru.

"Ciao Italia" akan membawamu menikmati tempat-tempat di pelosok Mediterania, mulai dari kota metropolis berusia lebih dari dua milenium hingga desa terpencil yang menyimpan banyak harta karun seni dan kejutan tak terduga (buktikan dengan foto-fotonya yang fantastis). Plus tip backpacking ekonomis: mendapat akomodasi gratis di Eropa, mencari tiket, hostel dan makanan murah selama perjalanan.

Setiap kisah dan suka-duka saat berusaha mengenal Italia, ditoreh dengan sebuah kejujuran dari seseorang yang akhirnya terlalu mencintai negeri Pasta ini.


maggio 30, 2008

Essere Coraggioso

Tadi temen baik gue ninggalin pesan di MSN.
Nyentuh banget (makanya gue conserve di postingan ini, supaya ga ilang).

Cukup sering gue ngeluh ttg perjuangan hidup yg mesti gue tempuh, gue mengeluh semua hal-hal indah rencana yg gue susun taon ini kandas. Gue ngeluh gue harus kerja keras lagi, mulai dari zero square all from scratch.

Pesan 1.
Sampe akhirnya satu pesan dari orang yg sangat gue adore. Fragola. Dia bilang: "Coraggio". Jadilah pemberani.

Pesan 2.
Dan hari ini pesan dari Rosalia, sahabat gue yang walau usianya terpaut lebih dari 20 tahun, gue bisa percayai dia dan dia pun selalu bercerita semua hal di benaknya, mulai dari saat nyokapnya sakit, meninggal, sampai saat Rosalia berusaha mengandung tapi akhirnya keguguran karena fisiknya risky di usia >40 tahun. Dari keguguran bayi dua kali hingga vonis dokter "You can't bear a baby". Gue ngga tau gimana Rosalia nerima hal-hal pedih ini.

Gue ngerasa problem hidup gue remeh bgt, ga ada tai-tainya dibanding orang lain. Bonyok gue masih ada. Gue ngga pernah harus berdarah setiap bulan, apalagi ngeluarin janin berdarah dari perut sendiri.

Gue merasa ungrateful.

«veramente - Ci vuole molto corraggio in questa vita - e devi pensare che quando sei vecchio, che non to penti di aver fatto quello che volevi fare. Sei molto corraggioso, mai sei giovane e libro da fare quello che vuole.....segue quello che voi fare, sognarlo e poi farlo!!! Rxxx»

Artinya
«benar, dalam hidup diperlukan keberanian - dan kamu harus pikirkan saat kamu tua nanti, kamu nggak nyesel udah mencapai hal yg udah kamu lakukan. Kamu sangat pemberani, kamu masih muda dan tulis buku yang ingin kamu tulis ... ikuti jalan yang mau kamu tempuh, jalan yang kamu impikan, lakukan!!! Rxxx»

Grazie Fra.
Grazie Rosalia.

maggio 24, 2008

Amerika ditemukan oleh Colombus asal Spanyol




Jawab pertanyaan ini dengan jujur:
Sebelum baca posting ini, kamu pikir Colombus itu orang Spanyol atau orang Italia?


***
Di Spanyol banyak orang tidak tahu asal-usul si penjelajah asal Genoa (kota Genova di Italia). Maka yang mereka kenal cuma Cristóbal Colón, orang Spanyol yang menemukan "New World".

Para sejarahwan setuju: Christopher Colombus berasal dari kota Genoa, walaupun ia tinggal lama di Portugal dan di Spanyol. Akan tetapi, sejarah bisa berubah sesuai dengan kebudayaan populer lokal. Begitulah jika Anda tanya orang Spanyol yang mengenal si penemu benua Amerika, Cristóbal Colón (nama Spanyol Christopher Colombus), tidak ada hubungan dengan Italia. "Colón orang Italia? Tidaaaak, dia orang Spanyol - jelas Maria, pegawai kantor pariwisata kota Cadiz - saya yakin sekali karena paman saya keturunannya langsung."

Di Spanyol, Colombus adalah orang Spanyol. Di universitas Spanyol, seorang mahasiswa kaget dan bertanya balik: "Di Italia, kalian kira Colombus orang Italia? Beh, di sini kami diajarkan dia asal Spanyol. Bagi saya, Colombus orang Spanyol."

(artikel asli dalam bahasa Italia)
http://viaggi.repubblica.it/dettaglio/L-America-scoperta-da-Colombo-lo-spagnolo/202341

maggio 04, 2008

The Arab World: From Souk to the Pyramids

Di kala SD/ SMP/SMA, saya ingat satu hal dari sang guru pelajaran agama: bahwa agama berarti "tidak kacau". Apakah memiliki atau menganut agama menghilangkan kekacauan? Hmm, pikiran muda saya tentu tidak mau repot mikir sejauh itu. Tapi satu hal pasti, pelajaran agama di Indonesia memberi terlalu banyak materi doktrinisasi dan bukan filosofi. Filosofi tentang kehidupan, terutama, sangat lacking. Di RI, pelajaran agama bahkan hukumnya wajib hingga ke bangku universitas, WOW!? Ngga banyak negara yang mengharuskan mahasiswanya belajar tentang agama, dan Indonesia tidak termasuk dari banyak negara tersebut.

Anyhooow, saya lagi baca buku tentang «dunia arab». Menarik sekali. Tahukah kamu? Ternyata,
technically speaking, cuma Maroko doang yang layak disebut sebagai negeri Maghreb. Secara umum maghreb merujuk kepada kawasan Afrika utara (Maroko, Aljazair dan Tunisia). Namun, saudara/i, Tunisia bukanlah Maghreb, bagi warga Arab Klasik. Tunisia punya namanya sendiri err... "xx-grib" gitu. Dan... Maroko satu2nya kawasan yg tidak ter"arabisasi" total.

Baghdad juga sempat jadi "centre of Islamic world" hanya karena kalifnya orang Persia. Jadi sebenernya "facts and needs" can be manipulated when required???

Menarik juga baca tentang sufisme, peradaban bangsa-bangsa dan klan Arab, Afrika, Persia dan Turki, masa kejayaannya, jatuh bangunnya dan penyebabnya. Atau ttg para kalif yang dipercaya sebagai pemimpin semua pemeluk agama Islam, ttg kampanye mereka. Sayangnya kalif sebagai pemimpin agama juga jadi pemimpin peradaban/kekaisaran/kesultanan, maka itu kala mereka haus kuasa, agama berfungsi sebagai penyatu dan alat kampanye. di era
medieval "khutba" setiap hari jumat juga harus mendoakan keselamatan sultan.

Palestina apalagi, hot hot hot, saya antara tau dan ngga tau: daerah Palestina sebenernya kota jewish, nabi muhamad sempat berdiam di sini (mengungsi) dan akhirnya menjadi terpandang, sebelum semua jewish diusir dari kota itu. kabba juga sebenarnya tempat multi-kepercayaan, ada ratusan bahkan sebelum dijadikan tempat suci eksklusif monoateis.

Kalo ada satu hal yg ingin gue komentari adalah proses pembentukan hukum (law) di dunia Arab/Islamik. Setelah tiadanya nabi muhamad, ada gap hukum yang tidak bisa di-
cover oleh hukum islam, ulama berusaha mengambil dari hadits, dari ucapan2 nabi muhamad, dari examples ... atau seringkali berdasarkan mufakat. Tapi hukum-hukum agamis dibawa ke dunia modern, terutama di dunia Arab, pertanyaannya: hukum yg dibuat di zaman medieval ngga bisa diterapkan di dunia modern yg kompleks (di mana hukum harus dibuat berdasarkan logika masyarakat lokal, bukan berdasarkan example yg terjadi 1300 tahun yang lalu). Definitely big no no.

Gue juga semakin ragu apa manfaat sila pertama pancasila, apakah ketuhanan yang maha esa itu menjamin bangsa indonesia lebih baik, lebih beradab dari bangsa lain yg tidak mencantumkan embel yang sama?

Satu hal yang selalu bercokol di benak gue: materi 'sejarah dan peradaban' dunia Arab diajarkan ngga sih di smp/smu? Apakah pelajar RI diberi informasi yang "berimbang" akan konflik-konflik antar agama yang disebabkan karena politisasi dan haus kekuasaan personage tertentu. Gue selalu bertanya2 waktu sma ttg hal ini, pas pelajaran agama gue keluar kelas. Timbul tanda tanya, apa yg dipelajari oleh
classmates? Apakah tentang sejarah islam di RI mencakup kondisi dan relasi antara dunia Arab dan Eropa? hmm...

Gue ngga ngerti kenapa semua agama semudah itu mengklaim "sempurna", "yang terakhir", "yang dijamin benar 100%" hanya karena satu orang, yang dianggap ─atau diasumsikan─ the enlightened one berkata, Whoah, Listen up people, He spoke to me last night!

Hampir setiap agama mengklaim yang terbaik, sedangkan yang lain apa dong?
Rubbish to bin out when the garbage man comes around?

Re
ligion. leggere (bahasa latin) = membaca. Re-leggere = membaca berulang-ulang.
Religion, agama, dipercaya oleh banyak orang (believed blindly, rather) hanya karena dibaca berulang-ulang. Dan diulang... dan diulang lagi... dan terus diulang.


...

aprile 21, 2008

Fly with us, not them!

Gue kemaren terbang antar benua via Singapura.

Dan saudara-saudara, ternyata Garuda bukan cuma dianggap maskapai kelas teri di Eropa saja, tapi di Changi juga. Buktinya penumpang turun (hanya) dari Garuda, di screen lagi. Gue ampe lepas laptop dari sarung, dikit lagi check pakaian dalam dah. Berarti security screening di JKT sia-sia dan dianggap sampah, dong? Not cool!


Connecting flight dengan Qantas, whoaah... disergap bau keju! ... tahan napas sejenak. Suffocation.
Baunya kaya keju mozzarella australia. Bau sama keju tapi... something didn't feel right. Eheh, ternyata flight attendants Qantas itu tua-tua, yang paling muda aja 40an dan yang ngelayanin kelas ekonomi... waks, ibu2 60 taonan, yang kulit lehernya menjuntai dan bau orang tua. Beda banget dg attendants airlines Arab, eg. Etihad, 20an semua, kulit kenceng dan senyum lebar.

Moral cerita: fly Etihad, not Qantas.

aprile 12, 2008

un paio di cose

Gue punya problem komunikasi.

Not so much at work or elsewhere.

Tapi di rumah. Dengan keluarga, how crap is that?

Ada satu revelasi lagi.

Antara tahun 2006-2007, gue melewati waktu di tiga negara berbeda, masing-masing di benua yang berbeda. Capek. Melelahkan.

Maka, gue tiba pada kesimpulan: gue harus abandon harapan untuk melewati musim panas eternal, di dua tempat yang berbeda per enam bulan sekali.

Terlalu melelahkan. Dan secara finansial kompleks banget, kecuali kamu Managing Director CLUBMED.

Kembali ke problem rumah-tangga. Iyah, ngga ngerti kenapa, tapi dengan bonyok, susah banget gue nyampein pikiran gue. Pangkal permasalahannya banyak dan bukan semua salah mereka, atau salah gue.

Satu yang paling obvious, beda generasi beda pemikiran.

Gue bilang, iyah minggu depan gue mau ke xxxxxxx.
Nyokap gue: emang boleh liburan selama itu dari kantor?
Gue: ngga, makanya saya berenti kerja.

Bagi nyokap gue, itu ngga masuk akal. Berenti dari satu job, tanpa punya job back-up itu ridiculous. Absurd, bahkan?

Tapi ngga buat gue dan generasi gue. Kayanya mereka yang lahir di tahun 80an, mereka bukan mencari uang saja. Duit emang penting tapi kepuasan juga. And a something extra, berbeda-beda untuk setiap orangnya.

Imbalan gaji bagi gue sekonder, yang penting gue bisa belajar sesuatu dari tempat kerja itu. Dan saat ini gue merasa gue udah mempelajari sesuatu dari tempat kerja saat ini, pusat kebudayaan eropa.

Dan gue butuh break, liburan, vacation, call it as you wish, karena gue merasa selama ini gue udah bekerja keras tanpa jeda dan benar-benar produktif. Tulisan, artikel surat kabar (salah satu yang paling terkemuka di negeri ini), buku non-fiksi bahkan. Semua dalam tempo sembilan bulan. Gue ngga tau apakah gue harus puas. Tapi itu udah gue max. Dan sekarang gue mau tinggal di satu tempat di tepi pantai. Tak berpolusi, tenang, kamar mandi kering, aroma garam dan rumput laut di pagi hari, dan civilisation.

Buat bonyok gue, ide liburan seperti itu tampak seperti "a waste" sesuatu yang sia-sia.

Ngga bisa disalahkan juga. Dari mereka muda, bekerja keras non stop emang mereka lakukan. Hingga sekarang.

Tapi bisakah nilai-nilai mereka diterapkan kepada anak-anaknya?

Voglio essere felice e basta. I seek happiness.

marzo 25, 2008

Pilgrimage to the Eternal City

«http://www.thejakartapost.com/news/2008/03/23/pilgrimage-eternal-city.html»




Pilgrimage to the Eternal City

Gama Harjono ,  Contributor ,  Jakarta   |  Sun, 03/23/2008 3:05 PM  |  Travel

The Eternal City of Rome has been an important city and sacred place since ancient times.

Interestingly, the oldest Roman catholic edifice, the paleo-Christian Pantheon, was originally a pagan temple commissioned to the architect Agrippa by Emperor Adriano in 27 A.C., and only later, in the 7th century, consecrated into a church.

The harmonious circular-shaped edifice now houses the tombs of the kings of Italy, as well as that of Raphael.

The brilliance of Rome's catholic churches continues to awe pilgrims. By tradition, however, there are four significant churches in Rome -- also known as the four patriarchal basilicas -- that are essential to a Catholic pilgrimage.

The basilica of St. John Lateran

Across the Italian capital -- at the opposite end from the Vatican -- is Rome's official cathedral, the West's oldest basilica, the foundation of which was laid by Emperor Constantine I in 324. It was thus the ecclesiastical seat of the bishop of Rome (a role assumed by the Pope) until 1309, before the status was granted to St. Peter's basilica upon the Pope's return from Avignon.

The basilica of St John Lateran, dedicated to Christ (therefore its official name is Archibasilica Sanctissimi Salvatori, the Arcihbasilica of the Most Holy Savior), ranks as the most important in the peninsula and contains the papal throne.

The basilica's main facade, in a baroque style, is often said to have been designed as that of a royal palace, not of a church. In the square of the same name, the world's tallest existent obelisk stands. The piazza now hosts the First of May concert with some of the biggest names in Italy's music industry partaking in the annual televised show.

The basilica of St. Peter

More than a just a church, St. Peter's basilica is effectively the mightiest (the second largest by area after the basilica of Our Lord of the Peace in the Ivory Coast) catholic structure on the planet.

At the very heart of Christendom, it predominates the tiny territory of the Vatican city while its royal crown dome has been a feature of Rome's skyline since the late 16th century.

Inside the basilica, among the innumerable artworks and underneath Bernini's phenomenally tall baldachin, is what's believed to be the tomb of St. Peter. Another addition, since April 2005, is the tomb of Pope John Paul II.

A feature of the catholic cathedral is the cupola, which is open to visitors to climb up. The dome, which is 135 metres tall, treats visitors to an astounding view over the Eternal City.

One cannot help but admire the sumptuous basilica, which, in spite of the busy traffic in the surroundings, is a holy site for the Church of Rome. It is also believed to be the burial place of St. Peter, the first pope of Christianity, following his crucifixion.

The monumental St. Peter's square embraces visitors with "open arms" as they walk through the pair of elliptical colonnades, ingeniously designed by Bernini. The square also features an Egyptian obelisk brought to Rome in 37 A.D., the only obelisk in Rome that has not been removed from its original position since Imperial times.

The basilica of St. Paul

Owing to its location -- outside Rome's fortified walls -- this basilica may be lesser known. But the story of the UNESCO-listed world heritage basilica is more involved than its location.

In the 4th century, the foundation was laid upon what is believed to the site of St. Paul's martyrdom, a process by the awful means of decapitation.

This church suffered terrible damage due to pillaging and natural causes and was restored and repaired throughout the Middle Ages up to the 19th century. However, a graceful 13th-century cloister survived the years.

Curiously, a sarcophagus was discovered beneath the altar a couple of years back during an archaeological excavation.

The basilica of St. Mary Major

Within a 15-minute stroll of Italy's busiest transportation hub, the station of Termini, sits one of Rome's gems, the basilica of Santa Maria Maggiore.

The basilica's undulating two-tiered baroque facade on one side, and its twin copper cupolas, keep the eye constantly moving.

Peering inside, visitors are awed by a 5th century Byzantine mosaic that recounts stories from the old and new testaments, or alternatively, one can take a tour of the tombs of different popes.

The basilica, dedicated to Mary, was constructed between 432-440 by Pope Sisto III, and since 1377 its belfry has been the tallest in Rome.

The tradition of celebrating the miracle of the snow falling is derived from the legend of Pope Liberio's dream in which the Virgin Mary appeared, only to tell him of snow miraculously falling unseasonably in August. The "Madonna della Neve," during which a cascade of white petals falls from the ceiling of the basilica, is celebrated on Aug. 5.


marzo 18, 2008

Italian Artists in Jakarta - March 2008




Franco d'Andrea in Trio (of his New Quarter)
Concert 10 March 2008
Istituto Italiano di Cultura Jakarta



A New Taste of Italian Jazz


The crowd’s enthusiasm was tangible, unhampered by the evening’s drizzle. The public certainly came to meet, and above all listen to, Franco D’Andrea on a grand piano while he’s in Jakarta.

Franco D’Andrea and his New Quartet came to take part in the Java Jazz Festival (7-9 March). With the support from the Italian Embassy, the Italian Institute hosted another concert on Mar. 10 as a “fitting closing” for the participation of Italian artists in the capital’s biggest jazz gig, said Livia Raponi, the Institute’s Deputy Director.

The auditorium brimmed with dignitaries, foreign diplomats, including the Ambassadors of Italy, the Czech Republic, Greece and Lebanon, and jazz lovers, all eager to experience a taste of Italian jazz.

D’Andrea has a successful career back in his country either as a musician or a music teacher. The award-winning artist is considered a sort of a “legend” for his involvement in the early phase of the Italian jazz history.

Born in Merano (at the extreme Italo-German border) young D’Andrea experienced with trumpet and saxophone in the 60s before turning into piano and performed as a soloist or collaborated in groups.

A poet-musician, D’Andrea has over two hundred compositions, many of which recorded and released in Europe. D’Andrea music is modern jazz with creative interpretation. He warned though that at times it could be difficult to understand his tunes. The veteran musician confessed his penchant for authenticity.

The Italian legend is full of energy and explosive creativeness during his performance. He generally digs in the history of jazz to extract a language that is contemporary and provokingly fresh. D’Andrea loves to express himself with his instrument, attempting to spark creative explosions.

This was his first time in Indonesia though he’s no alien to jazz festivals as he tours them around the world with this band. His view on the Java Jazz was the Indonesian festival has gained an enormous status despite its recent history. Compared to European jazz festivals, “Java Jazz felt fresh”, said D’Andrea.

In his Jakarta tournée, D’Andrea brandished new tracks in his latest album, the Siena Concert, that was released earlier this year. Some of the tracks played were Into the Mystery, Monodic, Fragole, and Slow Five.

To wrap up his solo show, D’Andrea played a medley of classic tunes Lover Man and Caravan.

To everyone’s surprise, there was a second part in the concert: an impromptu trio performance as two of his quartet members joined the stage. Aldo Mella was on contrabass whilst Andrea Ayassot on alto and soprano saxophone.

The energy quickly turned unstoppable. In three, they created a balanced dialog with the audience. There were personal glories sought, no showing off individual virtuosity, instead D’Andrea and his companions complemented one another as a collective sound.

Once again, Franco D’Andrea New Quartet (even sans its drummer, Zeno de Rossi had to leave in the afternoon) delivered their impressionistic yet adventurous sound, giving its Jakarta fans another taste of Italian jazz.

***

Text by Gama Harjono (email: unmacchiato at gmail.com ; tel. 0818 072 41 072)
Images courtesy of IIC Jakarta

gennaio 31, 2008

Patrick Perez in love with his host country

http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20080203.C02

The Jakarta Post
February 03, 2008
Features



Patrick Perez in love with his host country

Gama Harjono, Contributor, Jakarta


He emanates an air of humility and claims to be shy. But a chat with French culture envoy Patrick Perez is as enjoyable as a stroll through Paris.

With over twenty years' experience in promoting the French language and culture overseas, the director of Centre Culturel Fran‡ais in Jakarta beamed with pleasure as he confessed his love for Indonesia.

He was the one who chose Indonesia, a long way from his home, the quaint town of Cambrai in the north of France. Deliberate and prepared, the size of Indonesia's capital nevertheless caught him by surprise upon his arrival in September 2006.

"I start my working day by arriving at my office at eight and leave late," and he added how he found it easy to work with his professional team in Jakarta. "I had to train a lot my personnel when I led the Alliance Fran‡aise in Pakistan."

Asked to complete a Proust Questionnaire, Perez proved his appreciation for equality. "I prefer that my staff and I address one another with tu," he said he did not like to use the formal French pronoun of vous.

And he added the quality he looked for in others was frankness. On the questionnaire he scribbled "being frank and sometimes not knowing how to lie" -- as his weaknesses.

Questioned on the "rivalry" between cultural institutes in Indonesia, Perez said he preferred collaboration to competition. "We sometimes work with the other European institutes. These collaborations are important."

"Yes, it's important to get to know the locals through mastering their language." And that's why he takes an Indonesian lesson once a week. "And anyway you'll have to communicate in Bahasa once you're on the street."

Regarding his shyness he said, "particularly when I see a group of Indonesians at a function, I want to come up to talk to them but I don't know if I should disturb them or not".
Indonesia has taught him a few things, he admitted.

"I have learned to smile a lot and to say hello to everyone. I feel that when Indonesians smile and greet me, it's usually done with sincerity."

Promoting his country's language and culture is his lifelong occupation. "The main audience for CCF (the Centre) is those between the age of 20 and 30, but I try to get everybody in," explained Perez. "And that's why we diversify our events."

With the aim of reaching as many Indonesians as possible, Patrick Perez prioritizes Indonesians in the arts. He tries to always vary his programs, whether photography exhibitions, pantomimes, and even the occasional circus.

And the rock music-lover doesn't hesitate to go the extra mile. "I thought, where do we find Indonesians? So we organized a musical event at a shopping centre and recently a contemporary dance show at Taman Menteng in Central Jakarta."

Another practical approach employed by the genial Perez is extending the opening hours of the library and mediath‚que at the Centre. The 4000 plus members can now reserve items for loan on the Internet, then pick them up later.

CCF French language courses have also proved popular. The Salemba campus alone engages tens of teachers, offering regular, intensive and specialized classes seven days a week.
Patrick Perez remained calm about a "hot issue" that is on many French lips -- if not heads: the headscarf, banned by the secular country's state schools and government offices.
But Perez explained that the policy was not, in fact, a ban on the headscarf. "It's not just Muslims. The ban applies to all types of religious symbols.

"I respect people regardless of their religion. Ten percent of France's roughly 60 million inhabitants are Muslim. This is the reality in France," he said.

During the fasting month of Ramadhan, the Centre screens French movies about Islam in francophone countries.

About the banlieau riots in Paris, he said, "Just like any other country, France has its share of social problems. And unfortunately its pretty tough for some French youth right now."

The 42-year-old says he reads the Koran. He began his career as a French language teacher while serving his military in Syria. He says he's not an expert on Islam, but his CV shows more than 20 years of ministerial postings in countries with largely Muslim populations.

For Perez, passion means politics and the Middle East. Peace in the region where the world's most influential religions meet is his dream. He paused for a second before continuing, "I have two adopted children in Lebanon, one Muslim and the other Christian."
"One of them lives in a conflict area and I am very worried. I hope everything will be fine". The other child is living in Venezuela.

Perez said he found Muslims in Indonesia open and tolerant compared to the Middle East. He has explored Java and Sulawesi knowledgeable about local customs. He also admits -- like so many others -- that he adores the "island of gods", Bali.

Given his popularity in the capital and environs he said he was sometimes recognized in public, "Sometimes even in Bali people come up and say hello." He prefers mixing with locals to attaching himself to Jakarta's European communities. "I like to talk and have discussions with Indonesians, that's what I am here for. I have a three-year term in Indonesia and may extend it for an extra year."

Asked where he would like to live if he could chose any country he readily responded "France and Indonesia".

Twenty years ago Perez left France to discover new cultures and he is still pursuing them. On Sundays the humble director explores the capital by motorbike. You might just run into him at Monas national monument playing soccer with the locals.

ººº

gennaio 26, 2008

Lion Air memenetrasi langit Australia

Beginilah reaksi dan ilustrasi media Australia akan masuknya Lion Air Indonesia ke industri aviasi lokal di negeri kangguru:




Tapi jujur aja, maskapai Indonesia itu kualiasnya baik atau sub-standard sih? Kalau di kantor saya, semua diplomat Eropa kami disarankan untuk terbang dengan maskapai terbaik, eg. naik Garuda untuk domestik, hindari budget airlines.

Dan saya, jujur ... err, akan lebih prefer maskapai asing.

Dan kamu sendiri?

gennaio 25, 2008

Kredibilitas dan Phrasebook.com

Whoah, aneh juga yah, tau-tau tulisan gue diklip tanpa gue ketahui oleh website Phrasebook. Tadi lagi iseng google aja, eh tau-tau nemu ini di internet. Rupanya phrasebook adalah situs yang mempromosikan belajar bahasa asing. Lucu aja ngeliat buah pena gue dijadikan materi situs internasional. ehehe, credibility credibility credibility!

Phrasebase
http://www.phrasebase.com/blog/italian-celebration-in-indonesia-unas-hosts-language-week.html


ciaooooooooo...

gennaio 16, 2008

nostalgia

Italia, betapa rindunya diriku akan ambience sore hari di piazza cantik di kota-kota kecil di Italia. Oohhh ......!


Imaji tipikal sore hari di piazza di Italia

gennaio 05, 2008

No Excuse at Scusa - Go to Scusa Restaurant, Jakarta

No Excuse at Scusa

I had always wondered what secrets lay behind those mouthwatering dishes tantalizingly served at swanky restaurants. And I was equally curious about what it’d be like being in a cooking demonstration show. Given the ubiquitousness of such program on the local telly, I might as well let myself give in.

The promise was a culinary experience: a step-by-step preparation of an authentic home-made Italian lunch menu and secrets of the Italian cuisine revealed by Luigi Gigio Girardin, chef of the Scusa restaurant at the Intercontinental Mid-Plaza Hotel.

The scarlet-walled Scusa was abuzz that Saturday morning. Excitement was ample as a good couple of years had passed since a similar event was last run at the five-star establishment. Next to the bar counter, raw ingredients and different cooking appliances sat on a chrome tabletop impatiently awaiting the chef’s debut in public cooking.

My fifteen participant compatriots seemed a little unsure of what laid in store as they took their seats and attempted to scribble the ingredients and chef Luigi’s indispensable tips (did you know air-tight containers would be best to keep your precious 24-month aged Parmesan fresh in the fridge?). Happily, as we were told, a recipe book would be handed out later along with an exclusive Scusa souvenir apron.

The Padua-trained gastronomic genius’s feat commenced as he tossed arborio rice into an olive-oiled pot. This was clearly for the Sicilian rice balls of arancini.

Then came the meaty hard-core for the Piedmontese classic bollito misto. Pieces of chicken drums, cotechino or Italian pork sausages (may be substituted with beef sausages), huge chunks of veal shanks and, yes, an entirely wholesome bovine tongue, went on a free fall into another pot full of boiling water.

The forty-year old chef kept beaming as he food-processed bunches of basil, parsley, mint, capers, anchovies fillets and Dijon mustard to concoct the gleaming salsa verde. With a pesto-like appearance, the flavorful salsa verde was to accompany our quasi all-meat bollito misto. And to wrap the three-course menu was the Italian dessert of zabaglione, served cool.


I felt the proposed menu was decidedly adventurous. Indonesia-loving Luigi wanted to take us on an ambitious tour of his country: rice-based appetizer from mild tempered Sicily, a main course from the franco-swiss border and a saccharine-packed dessert from the Veneto region (no wonder the Venetians need a carnival to burn their excess sugar).

Lunch time, or, more appropriately, crunch time. “Buon appetito!” said our chef. “Il mangiar troppo è un vizio,” I so often heard this when I was in Italy. Eating too much is a debauch. A positively Italian one, that is.

So, I had a go at the golden brown arancini. If I must be honest, I would have preferred to relish this Sicilian speciality without tomato sauce, just how they’d normally be nibbled at in their place of origin.

As predicted, I grappled with the main course. The calorie-feeder bollito misto would be an excellent companion for northern Italy’s severe winter, but it proved to be extremely rich or my tropical gut. The previously gory-looking tongue, to my surprise, was incredibly soft and palatable even after witnessing it boiled, peeled and cut to pieces.

With a jazzy tune playing in the background, we were asked if we felt like we’re in Italy. Well, I can honestly say that with a menu this elaborate, such you would witness only at an Italian family’s “pranzo di domenica” (the sacred Sunday banquet), the only one thing missing was a soprano-voiced Italian mamma telling you to finish everything off the plate.

As Barolo wine and the Sicilian Nero d’Avola poured into our chopes, we were offered to degust other delicacies: Scusa’s home-made bread stuffed with fetta cheese; grilled Italian onion to go with a spoonful of the bollito misto broth, I never thought onions could be so luscious; and syrupy apple slivers bathed in mercilessly sweet juice to scare a dietician.

Thanks to such a rigorous menu, I quickly acquired a full stomach. But only fools would miss out on Scusa’s offer of an authentic Marsala-infused zabaglione and a Milanese pastry gem, the panettone. I admit I was partly melancholic as I was swamped with fond memories of seeing hundreds of panettoni sold in Italian supermarkets, as tradition wants it during the month of December in Italy.

Let’s face it, this is as close as you can get for a feel of Italian christmast in the country. And not to mention a brilliant chance to intimately wine and dine with one of the capital’s few Italian chefs.

Rapturous chef Luigi announced the soft panettone was also available at the hotel’s patisserie, the Deli, and whispered to my ear in Italian that he was going to dish out a traditional meal every month, starting with the pasta alla carbonara in January 2008.

I concluded there’s no excuse to miss the next special occasion, even if we’re Scusa. Oh, did I mention that scusa means excuse in Italian?

Scusa restaurant is on the second floor of the Intercontinental Mid-Plaza Hotel, tel. 021-2510888.


Arancini

Ingredients:

  • 150 gr risotto rice
  • 600 ml chicken stock
  • 100 gr minced beef
  • 50 gr Parmesan cheese, grated
  • 50 gr green peas
  • 20 gr parsley, chopped
  • 1 clove garlic, choped
  • 2 eggs, beaten
  • 200 gr bread crumbs

Cooking:

    1. Bring the chicken stock to a boil and add the rice
    2. Stir occasionally so that it doesn’t sit on the bottom of the pan
    3. Let it boil for 20 minutes then add the minced beef, green peas and chopped garlic
    4. Let it cook for another 10 minutes or until the rice is soft
    5. Season with salt and freshly ground pepper
    6. Remove from heat and place on a tray to cool down
    7. When cool, add the Parmesan cheese, chopped parsley and the two beaten egg and mix well with the risotto
    8. Take small batches and form balls, 3 cm in diameter and roll in the bread crumbs
    9. Heat up oil to 170ºC for deep-frying. Add the Arancini and fry them until golden brown
    10. Remove and drain from excess oil
    11. Serve with a spicy tomato sauce or mayonnaise

Recipe: courtesy of Scusa and the Intercontinental Mid-Plaza Hotel.