maggio 08, 2006

Kultur Café

Ada yang bisa menjustifikasi mengapa kafe korporat Amerika begitu populer di RI?


Satu fenomena mencengangkan di Asia yang hingga kini tak dapat saya selami.

Kegemaran dan keterpukauan Asia akan kultur kafe Amerika.

Bleeh ...

Ok, saya tak akan buang enerji menyerang chain café korporat Amerika utara, setiap orang punya selera masing-masing. Dan tentu tak ada yang bisa melarang kamu sukarela menyerahkan Rp 30rb (atau lebih) untuk secangkir bizarre looking fluidish beverage with a whimsical made-up moniker of « Frappé » and its stupefyingly dumb variants «Frappuccino» in a large takeaway glass dotted with an equally stupid straw, yang jikalau ditanyakan kepada sang "barista", err ... no I take that back, Starbucks doesn't employ baristas, kepada sang "kasir" di balik gerai: Mas, Mbak frappé artinya apaan sih; saya tak yakin jawabannya akan langsung meluncur, malah mungkin dibalas pertanyaan lagi, Mau pesan yang Small, Regular, atau Grande??? ^^

Dan horror ini tak hanya sampai di situ: mengikuti trend di Amerika, hari kini apapun makanan dan minumannya haruslah dapat di-sized up : maka Starbucks bisa dipastikan punya size SUPER DUPER DOUBLE GRANDE. Whoaaa...

Tapi sejujurnya, apa sih yang dicari di kafe amerika tersebut. Dugaan saya, hanya atmosfir relaks dan menyenangkan, tempat rendezvous dengan kawan dan partner bisnis. Atau hanya untuk gaya-gayaan sekaligus menambah koleksi smuggy mug di rumah?

Tak heran, baik di Surabaya atau Shanghai, Beijing atau Bangkok, Jakarta atau Hiroshima, setiap kedai kopi Amrik bisa dipastikan selalu penuh 24/7. Semudah itukah warga Asia termakan stratagem marketing korporat Paman Bush? Mengapa Asia memilih untuk ter-Amerikanisasi tanpa resistensi?

Mencengangkan!

Beverages mereka semuanya beurrkk ... yukkish, espresso bak dishwashing water (tak ada essensi real espresso-nya sama sekali), macchiato berubah menjadi minuman frothy dengan fanciful flavour yang bisa membuat seorang cafetier (cafe owner) sejati pucat pasi lari tunggang-langgang ke wc, sedangkan cappuccino-nya ah entahlah saya tak lagi bernyali berspekulasi.

Lalu apa sih enaknya nongkrong, kongkow di Starbucks (???) Why o why?

Dugaan saya, bagi sebagian besar masyarakat di Asia, terutama kaum muda, yuppie, dan mereka yang berduit: adalah penting untuk memiliki simbol status strata ekonomi, dianggap trendi, fashionable, get the latest, mengkopi kultur kafe "luar", mengikuti refleksi tayangan impor dari Hollywood (I'm soooo Californian, dude!) ... ah mamma mia!

Maka, harga sebuah minuman yang lebih besar dari upah harian seorang buruh di Jakarta pun tak jadi soal, yang penting bisa nongkrong di atas sofa empuk di balik etalase gelas dengan low light temaram tapi masih cukup terang untuk "to see and be seen", plus sibuk menggenggam dan membolak-balik membaca buku, euhhh ... agar terlihat "fit in" dan bergaya "Soho" (???)

Milliers de tonneres de Brest &^%#@!!!, umpat kapten Haddock kawan seperjuangan Tintin.

+++

Sayapun tak akan berdalih saya seorang coffee connaisseur atau apalah; kalaupun sekarang saya bisa membedakan antara doppio espresso dan affogato, atau Italian "macchiato" ternyata tak beda dengan French "noisette", itu semua berkat kelas yang saya ambil dan kunjungan independen ke berbagai kafe serta mencari tahu karakteristik setiap minuman. Bukan hal mudah.

Lalu, pikir saya, di RI, jikalau kita memang hendak memeluk (embrace) kultur kopi/kafe à la Barat, bukankah ide yang lebih tepat kita berefleksi terhadap dua bangsa di mana:

  1. kopi adalah national pastime & the nation's passion.
    Di Italia, kafeine adalah viagra quotidian mereka. Sebuah kafe menyajikan real coffee, yang umumnya dikonsumsi di bar counter dalam sekejap. Layanan table pun, akibatnya, memiliki surcharge.
  2. konsep kafe itu dicetuskan.
    Suku Gaul mengintroduksi kafe modern kepada dunia. Ibukota mereka, Paris, adalah kota sejuta kafe di mana kafe adalah sebuah icon hidup, bagian dari living pulse mereka, tak ada satu sudut arrondissement (distrik) di kota cahaya yang tak punya kafe historik. Entah Victor Hugo sempat menyendiri di pojokan sebelum ia diasingkan, entah Proust sibuk merenung memikirkan esensi waktu yang hilang (à la recherce du temps perdu) - semuanya berlangsung di sudut sebuah kafe. Yang pasti kafe Parisian adalah institusi semi-religious di mana ide cemerlang terlahir, lovers bertemu dan bertautan, ex-lovers bertukar pandang dan kata penyesalan serta "comment ça va toi", dan sahabat duduk berhadapan bertukar kisah enam bulan terakhir sambil menikmati orang lalu-lalang - unadulterated people watching, in short.

    Both showcase the pinnacle of what a real café should be presented.

Plus hemat saya, seorang cafetier di Republik Indonesia setidaknya harus memikul tanggung jawab untuk memberi edukasi dan re-edukasi kultur kafe yang tepat dan jelas, bukan sekedar mempropagasi chain coffee, tak henti membeli lisensi franchise dan menyebarkannya ke penjuru tanah air untuk mendulang laba tak terbatas dari anak-anak muda RI yang impressionable, terutama oleh glamour layar Holywood. Biarkan kafe rantai Amerika berevolusi dengan sendirinya tanpa perlu kita latah dan membabi buta menyaru mereka.

Maka, izinkan saya mengajukan pertanyaan terakhir. Dua foto sederhana di bawah ini. Yang satu adalah tipikal kafe Eropa (di foto tersebut, sebuah kafe Parisian) -perhatikan betapa kuat karakteristik individu décor-nya (bukan sekedar souless wallpaper), perhatikan papan menu kapur yang digores oleh tangan manusia (bukan mesin), perhatikan betapa elegannya keseluruhan ambience antara kafe and pengunjung- dan yang satu lagi kafe korporat amerika dengan sejarah menyeduh kopi kurang dari 20 tahun dan slogan mereka "Come and try our Frappuccino Caramel Blended Coffee today!" ... dan di outlet Starbucks dan kafe korporat Amerika lainnya (Coffee beans, Gloria Jean's, Hudson, dll) dari New York hingga Nairobi, papan menu mereka sangat "dingin" dan impersonal, selalu cetakan mesin serupa!

Saya tak tahu dengan kamu, tapi saya tahu mana yang akan saya pilih. Dan tak akan segan menjatuhkan pilihan.




52 comments:

Anonimo ha detto...

saya lebih suka teh tubruk or kopi jahe, lidah saya tdk cocok dgn sgala jenis pelafalan kopi yg aneh ituw *wink*

Anonimo ha detto...

mi piace molto un caffe' latte...
Apa beda Warkop sama Starbucks?

Anonimo ha detto...

gw ke starbucks minum teh & enak aja tempatnya kl yg SEPI!i could curl up on their sofa. tp gw jg pergi kok ke cafe2 kecil yg jg ga kalah enaknya ama starbucks. tp kultur kafe eropa emang beda & lbh cozyyyyyyyyyyy...huhuhu.. i miss it :(!

kultur indo warkop kan? bkn nya msh byk dimana2? tp tempatnya emang krg enak ya buat nongkrong berjam2 :p

Anonimo ha detto...

ah, this one always be our favorite issue of class discussion :P
dibilangnya starbucks menang di ambience-nya. dibilangnya cozy lah, dan akhirnya semua competitornya di indo meniru gayanya.

sebenernya sih gw ga masalah buat orang-orang yang ke starbucks, but what really getting on my nerves is the attitude of some guests (biasanya ABG bau kencur) yang bergaya oh-wow-look-at-me-i-dress-like-britney-and-i-could-buy-a-$3-coffee.

boh :P

Anonimo ha detto...

but i don't like any other coffee shops (eg. Coffee Bean & Tea Leaves).. i just like the taste of Starbucks' Frappucinno Rhumba..

Anonimo ha detto...

miss g : teh tubruk itu kaya sariwangi seduh yah? *wink balik juga loh

qky : warkop dono kasino indro atau warung kopi benerah atuh?

sylv : hidup kafe eropa dan warkop RI yang sebenernya bisa digarap dan dikembangkan lebih lanjut/modern, tapi saya serahkan ke kamu sajah hal ini.

kappa : ambience dan coziness Starbucks memang 'seragam' di seluruh dunia, semua interior dan furniturenya berbeda tdk banyak. Tapi apakah semua yang dari Amerika paling top, paling mantep, paling bagus, dan harus ditiru ??? $3 hehe, di sini AUD5 berarti sekitar USD4 (3+1) ^^ mahal yah.

chika : ai ya ya, frappuccino rhumba rasanya macam mana pula itu ? ^^

Anonimo ha detto...

Di a'dam sini, belum ada starbucks. Ada cafe sejenis itu, namanya coffee company yg lumayan nendang deh. Tapi lebih enak memang cafe2 di pinggir kanal2, cafe kecil yg ga terkenal...
Saya bukan pecinta kopi. Minuman berkopi yg saya suka cuman cappucino dan latte. Pas ke indo, saya nyoba ke starbucks. Bbrp jam kemudian saya pulang mencret2 dan muntah2 ga tau kenapa saya kira keracunan makanan. Pas bbrp hari sesudahnya minum di starbucks lagi, kejadiannya terulang...
Abis gitu no more starbucks! good article...

Salam kenal :)

Anonimo ha detto...

starbucks indo emang kurang enak! kafe eropa...hiks....

Anonimo ha detto...

seumur² baru sekali nih mac, ogut ke tempat kaya gitu....abis minum cofeemix saachet aja udah enak, murah lagi...hehehe

Anonimo ha detto...

saya ke starbucks karena memang saya tidak suka kopi, hohoho...
yeah, i also got a friend that despises starbucks like you =P and i totally understand why.

Anonimo ha detto...

Tidak bisa membedakan mana kopi enak atau tidak krn tdk suka kopi :D Pernah ada penelitian di US untuk kopi yg paling enak; ternyata bila gelas tidak dilabeli, konsumen cenderung memilih kopi dari resto fastfood dibandingkan starbucks. Ketipu? tidak tahu juga. :D
Juga tidak suka dengan porsi2 gede. Nggak hanya kopi, burger sudah dari dulu ukuran di-double, bertumpuk2 dan ada yang rotinya sampai 30 cm. Sayangnya semua ukuran condong ke atas, alias bye bye untuk porsi dan ukuran kecil :(

Anonimo ha detto...

modjo : kafe kecil memang lebih punya 'personal touch' daripada kafe korporat. tapi di amsterdam, kita bisa mesen kopi kah di "coffee huis" ??? atau hanya untuk kue jamur (mushroom cake) doang ? hahahaaah

sylv : kafe eropa emang ... mengesankan. meja-meja berjajar di teras kafe dan piazza. woaah...

hedi : keluarga saya juga menggemari coffeemix sachet-an itu. pas bgt saat lagi kepengen.

mia : bukan penggemar kopi dikau rupanya, gmn cafe scene di Senegal?

doel : Rakyat amerika utara memang punya selera kopi berbeda dari Eropa, mereka tidak bisa mengetahui kopi berkualitas dan kultur kopi mereka tidak se-refined di Eropa. Burgernya apalagi, semakin besar semakin menjijikkan (harusnya) tapi tetep aja digemari keluarga amerika. eukkk...

Anonimo ha detto...

I don't have that much problem with Starbucks although I prefer to go to Indonesian traditional coffee stall(s) aside to the price ;-)
Now I dislike hangin' out at Starbucks because they ban smoking in more of their counters ..
Ugh ..

:-D

And yes, Macchiato shouldn't taste like that, eh ?

Anonimo ha detto...

gw minum kopi krn kebutuhan, ga bs melek tiap pagi kl ga minum kopi.

yg quite annoying bout starbucks di indo, it seems like a place to be seen.sementara gw disini kl ke starbuck cmn pake sandal jepit & angkat kaki :p namanya jg warkop toh? :D

Anonimo ha detto...

saya suka espresso yg dimasak dengan bialetti! rasanya lebih nendang! suka kopi turkey ga? yg makernya kaya centong air hahahahaha

Anonimo ha detto...

silverlines : I wouldn't disliked Starbucks for enforcing no smoking policy. LOL

sylv : gue cuma beberapa kali doang seumur idup, waktu pertama kali buka di sini, dan sekali waktu di NYC. di JKT, cuma duduk tapi ngga beli apapun, males euy.

snmp : kopi turki hehehe, kayanya sepet bgt, ngga di-filter kan itu (ngga yakin soalnya jarang begaul di turkish suburb di sini!) hehe, pake centong air beh ... ampir kaya teh tarik aja!

Anonimo ha detto...

Di Plaza Indonesia, di depan Starbucks (gak tahu masih ada apa nggak) ada cafè Segafredo Zanetti, Italiano sicuramente. Yang datang di Segafredo orang2nya beda dengan yang memenuhi cafe ala negeri paman sam. Amerikanisasi dengan cara McD, Starbucks, Coca Cola dan all supersize things berhasil juga di negeri penikmat teh hijau seperti Taiwan. Starbucks was full when I was there morethan 7 yr ago, aku cuma numpang ke belakang....

Di sini beruntung sekali Starbucks belum atau jangan sampai ada deh...idem dito dengan pizza hut, jangan sampai menjadi tamparan di muka oerang italia. Dengan hanya melihat nama2 yg ada di menu starbucks, aku yang demen caffein udah eneg duluan sebelum menyeruputnya....caffè al brodo..con bichiere cosi lungo..o acqua macchiato con un gocce di caffè.

Turkish caffe is not bad, I tasted once when I was in Middle East. Penuh dengan rempah dan kentara sekali rasa kapulaganya.

Anonimo ha detto...

oh ada donk di coffee huis :D:D, apa yg ga ada sih disitu :p. Biasanya org nyimeng sm minum kopi ato minuman alkohol
Org bld sendiri suka banget sm kopi. Produk2 kopi dan coffeemaker makin lama makin banyak.
Tapi ada satu merk kopi yang enak, namanya DE. Biasa dijual2 kios di stasiun.. sluuurrppp
im gonna miss that coffee...

Anonimo ha detto...

Tari : ciauzz - allora, hehehe tampaknya suatu ketika kita harus bersua for a caffe' (???) Negara macan Asia justru yang paling parah dg amerikanisasi cafe scene mereka. Kedai teh modern dari Taiwan/ Hongkong pun di sini banyak terutama daerah chinatown dan memang mereka punya ukuran gelas super besar, tapi setidaknya mereka TIDAK mengaku "coffee experts" seperti si gurita Starbucks dan kawan2nya.

Ngomong-ngomong, kapulaga apaan sih ?

modjo : ^^ ah para bule dari negeri dataran rendah itu memang menjunjung liberitas tak terbatas. COFFEE HUIS, aku akan mengunjungimu (lagi!) yg menyebalkan adalah terlalu banyak "college students" dari Amrik yg kegirangan bak remaja kehilangan keperawanannya, mengingat di HLD mereka bukan hanya dianggap major, bisa beli alkohol tapi juga mereka girang tak terkira menghamburkan duit ortunya untuk kannabis ................... oaaah

Anonimo ha detto...

disini ada... (sesuai kata modjo).. SPACE CAKE!! :D

hmm.. menurut saya itu adalah aktualisasi diri para manusia di Asia.. :p

saya pribadi sih senengnya Frappucino caramel dan gak pernah peduli dengan apa artinya... dan seperti apa rasa yg seharusnya... ;)

It's all about personal taste..

Anonimo ha detto...

Iya ya.. saya juga bingung, kenapa Starbucks bisa sengetop itu dimana2.. pas liburan ke JKT 2 thn lalu, pesen espresso aja ngga karuan rasanya.. kalo biasa ngopi di eropa emang lidahnya lain ya... saya sih mending ngopi dirumah pake mesin Nespresso, kapsulnya banyak macam rasa, ristretto nya juga "nendang".. lumayan lah... :) btw, saya link weblog kamu yg ini ya...

Anonimo ha detto...

ardho : tidak ada yg salah dg mengunjungi starbucks, yg disorot kali ini adalah taktik marketing mereka yang seringkali mengaku "coffee experts" plus ketidakberdayaan masyarakan asia yang blm/tidak mengetahui kultur kafe yang original, serta merta menggila-gilai kafe amerika. SPACE CAKE, eh (???) langsung melayang kah?

wati : ^^ tentu sajah. Dikau juga mengkonsumi ristretto, oaaah ... oya, di sini pun makin banyak rumah tangga semakin sigap melengkapi dapurnya dg caffetiera (espresso maker) ditunjang lahirnya 'boutique' grind coffee.

Anonimo ha detto...

hidup space cake! *LOL*
oops. wrong topic hehehe...

gue pas liburan ke indo kemaren ke starbucks/coffee bean several times cuma karena masalah comfort and convenience. paling sering ke starbucks thamrin karena lokasinya di 'tengah', buka 24 jam, jadi enak buat ketemuan sama temen2 gue yang ngantornya nyebar di seluruh penjuru dan hobinya pada lembur.

back in the uk, gue hampir ngga pernah ke starbucks. kalo pun beli their coffee, again... cuma masalah easy access aja pas gue butuh my caffeine dose on the go (i.e. at the train stations coz the coffee on the train sucks!)
kalo chain di uk, gue prefer nero caffe. rasanya lebih beneran kopi.

kalo gue punya waktu dan lagi picky, of course gue milih coffee shop kecil, just like you. but then again... where in jakarta can you find that kind of places? gue dulu seneng banget sama bakoel koffie yang punya konsep tradisional. tapi denger2 udah buka beberapa cabang ya skrg? gue ngga tau deh rasanya masih sama apa engga.

so, little coffee shops or chains?
i guess the choice will depend on what you're looking for: crappy coffee on the go or exceptional taste that takes more effort :)

Anonimo ha detto...

mementoes : setuju euy, di Asia sulit sekali cari kafe sekualitas di Eropa karena telah terlalu Americanised; gue sendiri tetap mengukuhkan cari kopi beneran baru kalo kepepet boh, apa mau dikata melangkahlah ke kafe apa aja. Di JPN juga begitu, kopi yang ubiquitous dan murah meriah ada kafe chain Excelsior namanya, espressonya encer tapi lokasinya strategis dan di tepi tikungan (people watching euy). Yang ingin gue kemukakan adalah di RI perlu edukasi kafe yang benar, sebelum kita mengambil keputusan kafe mana yg lebih asoy.

Err, iyah hidup kue luar angkasa !

Anonimo ha detto...

aawh, come on, starbucks is the ultimate place to see and be seen!

hehe, becanda ding ;P gue juga sering bahas ini sama temen2 gue. kayaknya sih banyak orang yang kesana mainly untuk hangout & sebagai meeting point. gue jarang banget ke sana karena i don't really like those frozen coffees dan lagian harganya kemahalan ah! i don't hate the place though, i hate gerombolan abg sok hip yang sering menuhin starbucks on weekends :P

kafe ala eropa gitu di sini kan jarang banget...

Anonimo ha detto...

katanya mesir juga punya tradisi kafe, ya, Oom?

Anonimo ha detto...

miss orange : harganya memang kemahalan dan terlalu banyak ABG. Lalu elo ke kafe mana kah, sehari harinya?

qky : ^^ aduh saya mah awam banget tentang Mesir. Tapi kedai kopi -tampaknya- telah populer di "mediterranean basin" dan Timur Tengah sejak zaman kuno. Dan spt banyak hal lainnya, kebudayaan ini merembes ke Eropa via Yunani, Roma dan provinsinya. Gimana kalo kita tanya ke perjalanan.org yang tinggal di Kairo (???) mau saya tanyain?

Anonimo ha detto...

MEMENTOES: Bakoel Koffie udah ada beberapa cabang emang tapi gue cuma lebih suka their homy atmosphere and their brownie cheesecake (yummy).
Untuk kopi, gue lebih suka TATOR aja. Tradisional dan enak. And they don't ban smokers. Faktor penting waktu ngopi buat gue *LOL*

MACCHI: Grazie, va bene cosi. (Correct me please ?)
Only that I've just recovered from a disease :-(

Anonimo ha detto...

now i prefer tea, without sugar. kasian perutnya euy minum kopi. well, i often hangout at coffeeplaces, tho. di starbuck sarinah Jakarta itu soalnya pw banget buat ketemuan. usually, i dont buy the food or drink (i dont like to eat).

Anonimo ha detto...

The best coffee I've had in Asia was actually on a street corner cafe between a wet market place and a river in Vietnam. Have you tries ca phe sua, the traditional Vietnamese coffee made with a little aluminium strainer. Delicious, both hot and cold! :-)

Anonimo ha detto...

Oh god, please pardon my typos. Some grammar I've got going up there! It's hard being a perfectionist ;-)

Anonimo ha detto...

In that case, sto benissimo, grazie ;-)

Anonimo ha detto...

Macchiato..latte o caffè?..preferisco latte macchiato alla mattina..e poi caffè macchiato dopo pranzo..lol

Setelah membaca lagi judul entry ini, aku baru ngeh kamu menggunakan kata "kultur" untuk amerika...ma che cultura? Loro no hanno cultura..he..he..

Kapulaga: caradamom

Kalo sudah di Italia mampir ke Cesena untuk secangkir kopi Luwak atau Blue Mountain con ambiente puro italiano senza frappucino, caramel...però senza fumo.

Anonimo ha detto...

silverlines : aduh saya ketinggalan bgt, blm pernah ke Bakoel koffie! Kpn ngajak-ngajak? TATOR, aduh apa pula itu. Stammi bene (take care) d'accordo?

dinda : you don't like to eah? oaaaah .. kamu pasti skrg kurus ceking deh. beli teh di starbucks ? errr ... gimana lain kali bawa cangkir disposable, termos isi air panas, teabag, dan bikin sendiri di sofa starbucks. lebih hemat loh.

morningdew : blm pernah jajal itu ca phe shua, suatu ketika pasti bakal coba saat berkesempatan. untuk skrg, i'll stick with their Pho.

tari : kopi luwak eh? ^^ frappucino CHE BRUTTO! ada kopi Blue mountain? hihi, lucu ih namanya. Kdg Italians dan Europeans sok Ingrissisasi, suka salah ngasih nama anglo, maunya tampak cool, tapi efeknya malah sebaliknya. Pero' preferisco il corretto perche' quello non e' conosciuto bene qui! Ci vado in sei settimane, non posso immaginarlo! Ti giuro.........!

Anonimo ha detto...

TARI : addendum, hehe, mereka bisa dibilang ngga punya kultur caffè in all senses. Tapi mengaku-ngaku dan mengekspornya ke Asia dg sukses. Itu yang saya kritik kali ini. Banyak orang di Asia yang terpanah dan terkibuli.

Anonimo ha detto...

Tator = Tana Toraja.
You know that one of our best coffee comes from Toraja island. And they serve in a special "coffee maker" called syphon yang satu serving nya cukup untuk sekitar 3 cangkir
Very exotic way of making coffee.

Bakoel Koffie, tempatnya homy banget. Pasti betah banget berlama2 di situ. I've taken some pictures of 'em which I might share someday.

Anonimo ha detto...

PS: Si, signore.

Anonimo ha detto...

silverlines : stress-nya krn satu dan lain hal; hal-hal besar, life-altering, tengah terjadi dan saya pun gundah gulana. Che faccio (what do I do) ? Iyah, kpn kpn kita ke bakoel dah. foto-foto postingkan dulu gmn? Tator emang unik, selain kopi model syphon yg dideskripsikan di atas, kayanya masakannya enak2 juga dah. Ah makanan lagi. Laper euy, jam 10 pm di sini, baru balik dari kls Italian. Cape euy commuting. allora ci sentiamo

Anonimo ha detto...

Macc.. mm kita di Asia ato Indonesaaa punya kultur kopi sendiri? kok aku sangsi..he.he.he. orang kalo ditanya kultur Indonesia sama orang sini aja aku bingung mo jawab apa.. Indonessaaa.. jaman globalisasi gini.. yang punya dhuwit gedhe yang mendominasi..

Aku sih tetep suka kopi bikinan sendiri. Petik sendiri, goreng sendiri, tumbuk sendiri.. spt dibuat Emak jaman aku kecil duluuu. sambil minum, kremus2 sisa butiran biji kopi.. *lagi inget beberapa pohon kopi di belakang rumah niiiiiiiiii..* :)

Lain lagi.. kopi warung koboi... air & kopi dimasak bareng di atas api (jadi bukan ekstrak kopi semacam espresso). Yang ini dulu kutemukan di sebuah pojok kota kecil yg skr jadi rame gara2 ktm blok petroleo di sana. Suasana? wah.. justru bisa banyak menimba wacana bijaksana dari obrolan para "koboi".. asli.. lebih bijak drpd para anggota dewan terhormat di Jkt sana..hua.ha.ha.

nah.. spt yg ta sebut di atas, apa bisa ato boleh disebut sbg salah satu kultur asli minum kopi gli Indonesiani? :)

Anonimo ha detto...

G, Blue Mountain biji kopinya berasal dari pegunungan tin ggi di Jamaica, karena daerah ketinggianya dimana kopi itu tumbuh maka rasanya pun lain dan tentunya harganyapun sangat mahal. Seperti teh hijau dari Formosa atau jepang.

Kopi Luwak juga menjadi kopi yg mahal. yang ini berasal dari Sumatra. di Filipina juga da Civet coffee.

Satu cangkir espresso menggunakan kopi Luwak harganya € 3, Blue Mountain € 2, sementara dengan biji kopi biasa hanya €0.85.

Lain ladang lain belalang, tapi buat gli statiunitense semua ladang milik mereka. andai saja rusia sejaya mereka saat ini, mungkin kita semua sudah menjadi penikmat vodka, caviar atau teh alla rusia.

Anonimo ha detto...

sehari-hari lebih sering ngopi di rumah, hehe. ga ada kafe favorit sih, tapi kalo lagi di kafe manapun memang biasanya nyobain kopinya (dan cheesecake. i love cheesecakes!)

Anonimo ha detto...

my brother in law yg orang ngitali selalu misuh2 soal kopi itali yg diperkosa sama orang amerika . ga rela dia .. hueheuee .. mungkin starbuck laku karena bisa to see and to be seen di situ alias ngecheng2 ajah, bukan menikmati the coffee itself .. kalee lhoooo !

Anonimo ha detto...

I prefer cognac over espresso. I don't like the taste of sambuca over espresso, too strange taste for me.

Anonimo ha detto...

PS: Why can't we leave any comment on your latest post, Mr. Romantic ?
LOL

Anonimo ha detto...

Iya tuh, gue juga kemaren mau komen nggak bisa. Ada apa gerangaaaaaaaaaaaaaaaaan? Nggak mau ngebahas ya ;-)

Anonimo ha detto...

wd : oaaah, hari begini menelusuri sejarah kultur minum kopi di RI, terlalu dalem, diriku yang awam ini tidak tau. ^^

Yang pasti Asia awalnya meminum daun teh yang tidak sengaja terseduh di air panas.

Kultur Indonesia, mungkin lebih ke kopi tubruk yang dikonsumsi di rumah, kedai makan, dan warteg-warteg terdekat. Bapak saya seringkali beri grinded kopi asal Medan atau Sumatra lainnya, yang kiloan itu, bawa pulang dan seduh sendiri. Saya dulu kecil ngga suka kopi, tapi hmmm skrg jadi minuman kuotidian begitu, bak nikotin aja, efek addictivenya ngga terasa tau-tau udah merasuk.

Emang bener euy, yang berduit yang paling menor dan bergaya.

Aduh, wd, metik, numbuk, goreng biji kopi sendiri. Emang rumahnya dulu di mana kah, sebelum pindah ke Colosseo!

tari : kopi Jamaica eh. Teh alla Russia kaya gimana atuh? postscriptum: sono stufato del mio lavoro, che brutto!

miss orange : cheesecakes eh. abis beli cheesecake lalu ke konser, atau nyari film-nya Canet? LOL

ika : Amerika memang telah memperkosa, membejati kultur kafe dan kopi, plus perkosaan - perkosaan tak terungkap lainnya.

silverlines & morningdew : ^^ LOL one day my child, one day!

Anonimo ha detto...

Alah alaaaaaaah ... someone's missing someone so dearly ...

Anonimo ha detto...

I love it when guys express their utmost hidden feelings publicly like this. The only missing part is the object of his affection's identity ;-) One day, Macchi, one day. Perhaps over coffee by La Seine ;-)

Anonimo ha detto...

Macchiato: "Plus hemat saya, seorang cafetier di Republik Indonesia setidaknya harus memikul tanggung jawab untuk memberi edukasi dan re-edukasi kultur kafe yang tepat dan jelas, bukan sekedar mempropagasi chain coffee, tak henti membeli lisensi franchise dan menyebarkannya ke penjuru tanah air untuk mendulang laba tak terbatas dari anak-anak muda RI yang impressionable, terutama oleh glamour layar Holywood."

Setuju! Mereka para cafetier Indo memang perlu diberi EDUKASI dan RE-EDUKASI yang cukup! Peduli amat soal anggaran pendidikan. Seperti anda katakan, tanggung jawab yang mereka pikul amatlah besar. Coba apa jadinya sebuah bangsa tanpa kultur kafe yang benar (= European, in case you weren't paying attention!), mau jadi apa bangsa itu? Terima kasih!

And don't get me started about anak-anak muda RI. Saya setuju dengan anda, anak-anak muda RI memang sangat impressionable terhadap everything Americans! Betapa dungunya mereka. Bukankah jauh lebih keren dan bergengsi kalau kita impressionable terhadap everything European? Tidak tahukan bahwa kultur Eropa lebih berkesan sophisticated? Itulah akibatnya kalau orang kaya baru Indonesia tidak pernah mengenyam European lifestyle seperti kita-kita. Bukannya saya judgmental lho......

Anonimo ha detto...

Seems like you got an anonymous admirer ;-)

Anonimo ha detto...

silverlines dan morningdew : one day. La rive gauche, ok dokey, for the best view of Notre Dame. Unbelievably romantic, shivers down the spine : imagine walking hand in hand with your partner, eh! Oaaah...

Pencinta Eropa : hehe, saya pun berharap ada cafetier di RI yang tergugah (fat chance!). Ttg komentar, bukankah lebih bergengsi bila kita ter-impressionable oleh kultur Eropa, saya pikir harus dispesifikasikan. Kultur Eropa dlm bidang apa dulu. Kalo kopi/kafe, spt kata pencinta eropa, saya eurocentris (oaaaah ... ?? aduh!) tapi setuju kultur kafe mereka sangat elegan dan jauh lebih sophisticated. Anyhow, identitas pencinta Eropa sangat misterius euy. hehe ^^ beritaukan sedikit ttg diri dikau.

Anonimo ha detto...

di indo emang cuma pd gede gaya doang:) bukan begitu, sodara2? lost baby lost, too artificial. bahkan kiblatnya fashion dan gaya dunia, paris, pusat inspirasi mode, menyimpan kesejatian di dalamnya.

saya pikir edukasi utk collective consciousness adl menemukan, merasakan, dan menggali "local truth/ root" krn tiap tempat pny message dan warna energi yg berbeda. see jogya, bali, bandung (saya kangen nasi tutug oncom, bahkan ke kampung daun aja blm pernah). by this way we can really exchange and experience with joy.