Hidup di Italia itu bak merangkai puzzle. Memang, hingga kini, saya kadang masih sulit percaya saya telah berada di sini, dan bukan cuma sebagai turis sehari dua hari. Dan tentu saja masih sulit mempercayai penglihatan saya. Italia begitu indahnya, kota dan desa jaman pertengahan di provinsi Umbria ini bertebaran bak intan di benua Afrika.
Ambil kota Perugia sebagai contoh. Menginjak minggu ke-3, saya mulai mengenali jalan utamanya, saya mulai tak lagi tersesat, tapi masih saja ada lorong dan lanes obscured dan kecil yang sebegitu gelapnya di siang hari, dengan suasana mediaeval-nya masih terpreservasi quasi-sempurna. Masih banyak arches dan lengkungan antik melayang tinggi tak tergapai di udara, menyembul di antara himpitan apartemen antik yang memesona, Masih saja topografi kota ini yang disusun sebagai benteng pertahanan memukau saya. Masih saja ketakpercayaan saya akan sejarah Perugia sebagai Papal State dan pemberontakan mereka terhadap tirani Vatikan dua ratus tahun silam.
Sabtu adalah hari bermalas-malasan. Maka saya pun melangkah santai menuju "lower part of the old town". Via Cavour. Melewati tiga gereja kuno kota Perugia.
Sant'Ercolano, pun patron Saint kota Perugia. Kemegahannya tersisip oleh desain gereja yang menyatu dengan dinding kota (ancient city wall) sehingga tampak kontras dramatik antar nuansa Erconalo yang putih merah muda dengan warna gelap dinding kota.
San Domenica. Si pendeta Spaniard yang amat dihormati di sini. Katedralnya megah tetapi dekor internalnya minimal.
San Pietro. Apa yang bisa saya bilang. Ia mungkin rumah ibadah paling indah se-Perugia. Luarnya mungkin agak sedikit kumuh, koridor sisa dari ex-status monastery-nya. Tapi begitu melangkah masuk, woaaah ... tak ada sejengkal tanganpun lepas dari saputan para artis lokal era renaissance. Affresco-nya menginspirasi dengan ratusan malaikat (angels), dinding dan terutama langit-langitnya pun penuh frescoes, mungkin tak kalah dengan gereja utama kota besar di Italia. Beberapa lembar lukisan digantung di dinding, salah satunya milik Raffaello (Raphael) ... The Annuncion (da Raffaello) begitu nyata dan hidup.
+++
Tapi bak fatamorgana di tengah hari bolong, semua keindahan ini sirna seketika saat kami, para orang asing, harus berurusan dengan birokratika lokal. Sangat ribet, tak ada kejelasan, tanpa aturan, dan menurut saya sangat orthodoks. Entahlah apa makna "burocrazia" bagi mereka. Italia memang punya problem besar dengan pendatang gelap, imigran tanpa kertas, clandestini, tapi apakah dengan semua hukum imigrasi mereka saat ini problem tersebut berkurang. Tidak, justru malah sebaliknya. Apalagi di sini pun tak kalah banyak residen legal, baik EU citizens maupun ex-comunitary, tapi semuanya harus berurusan dengan Questura (simbol biroktratik Mediteranea?) dengan bertele-tele dan tak habis derita di tengah panas dan dinginnya cuaca. Belum lagi sembilu emosional dan psikis yang tak bisa dikuantitaskan.
Koran nasional Italia bahkan punya supplemen khusus ditujukan bagi kaum imigran, isinya mulai dari keluhan, problem sehari-hari, hingga curhat masalah legal (dan semi ilegal?) ... pemerintah Italia giat mengawasi gerak gerik tetangga Utara mereka, France dengan policy ketatnya ekspulsi wajib bagi sans papier (imigran gelap), dan mungkin mereka mau mengikuti langkah tersebut, tapi lucunya Roma juga memberi amnesty ber-quota bagi imigran ilegal di Italia. Bak perahu di tengah badai, ngga jelas mau ke Utara, Barat, atau Selatan, kebijakan Italia ini.
Bleeehh ...