giugno 06, 2006

Garis Langit

Kebetulan di kelas Italian minggu lalu muncul tema preservasi kultural. Ah ngga usah disebut siapa jawaranya, tau sendirilah negara-negara rustique blok Old Europe yang entah berapa besar budget pengawetan bangunan tua, monumen dan artefak nasional (walaupun, kasarnya, akan balik modal juga dengan kunjungan turis membludak dan memberi devisa ke publik; France, Italy dan Spain tahun demi tahun pongah bertengger di top 5 negara dengan kunjungan turis terbesar sedunia).

Rahasianya? Ah bukan DNA molecular science, simple sekali: preservasi warisan budaya nasional. E basta!

Disebutkan salah satu grup yang aktif mempromosikan ajakan «Kembali ke Karakteristik Lokal» adalah La Scuola portoghese. Mereka menangani proyek pembangunan dan renovasi gedung lokal yang harus berciri dan (sebisanya) bermaterial lokal in situ.

Argumentasinya, tanpa usaha serius akan pelestarian ciri khusus arsitektur daerah lokal tersebut, sang kota akan kehilangan identitasnya. Dan tak lama lagi seluruh metropolis di penjuru dunia akan converge, individualitas yang membedakan mereka dari kota lain akan lenyap. Misal, suburban Los Angeles, Auckland, New York, London, Tokyo dan Sydney dikatakan kini berwajah serupa. Tak ada lagi atmosfir unik.

Maka, mari ambil contoh, kota-kota dunia berikut ini prosperous dan garis langit-nya (skyline) bahkan menjadi recognisable icon:

Paris. Rasanya Parisians harus berterima kasih kepada walikota mereka Baron Haussman yang telah meng-gentrifikasi banyak arrondissements usang di akhir abad ke-19. Lalu ia pun meregulasi gedung residensi apartement tak boleh lebih tinggi dari sekian meter (entah berapa) dan maksimum enam tingkat. Hasilnya, skyline Paris kini tetap postcard perfect, menjadi drawcard para turis : façade terkenal Parisian apartments, silhoutte ramping Menara Eiffel, kubah la Basilique de Monmartre, dan di 1è arrondissement figur medieval La Notre Dame mengukir dengan elegan.

Pencakar langit dikonsentrasikan di luar Paris, di zona bisnis La Defense, di periferi barat arrondissements-nya. Hasilnya, jamahan modernisme tak "menodai" karakter de la beauté (of beauty) kota tua Paris.

Sekedar intermezzo, taukah kamu saat laskar dan panzer Jerman berparade di Champs Elysées, saat France takluk oleh tetangganya, Hitler pun tiba di kota cahaya ini untuk pertama dan terakhir kalinya. Ambisi besarnya ternyata, bung Adolf ingin meratakan kota Paris agar kota tercantik se-Eropa beralih tangan ke Berlin!
Parigi

Florence. Kubah Il Duomo-nya simbol eternal the Renaissance.


Siena. Atap terracotta-nya bergeming sejak abad ke-13.
Siena

Perugia. Apartemen tanah liat dan batu bersanding dengan kerucut Campanile. Ke-khas-annya mencuat saat kabut turun menyelimuti kota tua Etruscan ini. Abadi. Tak terjamah oleh modernisme dunia. Whoaah .... ^^
Perugia
+++

Sedang the New World, Sydney, Melbourne, New York, Boston, Tokyo, Shanghai mau tidak mau harus puas diri dengan laju zaman. Pencakar langit gelas menjadi alternatif satu-satunya. Sayang memang tapi mau bagaimana lagi.

Untuk RI, rasanya cuma Bali satu-satunya yang bisa dibanggakan. Di sini AUS Bali sangat populer hingga bisa dibilang setiap kali turisme Bali diiklankan di media, terutama dengan gambar Pura-nya, di benak banyak Austraiiyans langsung terpampang jelas: ah the Indonesian holiday island.

Jakarta, parah. Tak beraturan. Kacau. Tidak jelas. Modernisme gedung jangkung bersanding dengan deretan gubuk bantar sungai. Daerah-daerah pemukiman tradisional suku Betawi dibeli dan diubah menjadi ... entah jalan tol, perkantoran, dan lain lain.

Plus kegemaran rakyat RI -berhubungan dengan mentalitas konsumerisme RI kah?- yang rajin membangun kompleks perbelanjaan berupa mall, shopping mall demi shopping mall timbul sejak awal 90-an. Oh la la. Rasanya belum afdol kalo sebuah kotamadya belum punya mall terbesar.

Dan, lebih seramnya : ruko si rumah toko. Skandal arsitektural nasional! Dan sialnya ia kini menyebar di seluruh kota utama Indonesia bak cendawan di musim hujan.

Beh ... !

9 comments:

Anonimo ha detto...

baru-baru ini berbincang ringan tentang tema terkait dengan orang2 jp. kenapa kota-kota di jp sangat homogen, nggak punya ciri khas. lingkungan yang kental kultur tradisional hanya berupa titik2 kontras yang terpencar secara spasial. mereka: rumah tradisional kita kan pake material dari kayu, selain umurnya pendek, nggak mungkin kan bikin high-rise dari kayu... aku: nggak usah pake kayu, gimana kalo design-nya aja yang dipertahankan? mereka nggak jawab.

Indonesia juga sama yah...

Anonimo ha detto...

di Bandung banyak bangunan2 keren2 loh sebenernya.. kebanyakan bergaya artdeco dari awal abang ke-20. ada perhimpunan Bandung Heritage yang giat banget mempertahankan bangunan2 tua ini. tapi mau gimana lagi, pemerintah kotanya kurang punya spirit utk itu, jadi banyak bangunan tua yg malah diancurin dan diganti bangunan besar & modern.
sediiih...

Anonimo ha detto...

Setuju ama Yanti, mestinya bagunan tua peninggalan komopeni seperti yang di Bandung dan Jakarta Kota harus di lindungi. Bukannya malah di ganti dengan mall dan ruko..beh..

Heran, kok aku gak terima komen di fotografia ya? Nanti coba aku check templatenya.

Kalo sudah di sini puas2in menikmati bangunan tua. Sepertinya pemerintah Italy harus keluat duit lebih banyak lagi untuk membersihkan gedung2 tuanya karena masih terkesan kotor dan tidak terawat, tidak seperti Perancis.

Sebenernya aku seneng Jazz tapi dengan adanya mio cuciolo, terpaksa di singkirkan dulu angan2 untuk nonto Umbria jazz.

Anonimo ha detto...

cj : sturktur kota terbaik di JPN menurut saya (dan jutaan travellers lainnya euy) adalah Kyoto. Terutama Gion dan seputar ex- Palaces dan Kuil di sana. Mamma mia, kuil kayunya bukan saja grand tapi ia juga impresif bagi mata saya.

yanti & tari : dana pemugaran dan perawatan arsitektur tua di RI mungkin lebih banyak yg masuk ke kantong si petinggi (???)

Mba Tari, ciao ... umbria jazz lain kali aja. Udah sibuk mikirin asiknya bakal mudik. Oaaa ... ^^

Anonimo ha detto...

perugia..oh perugia....

(postingan gwe pendek banget yah...;p)

Anonimo ha detto...

BOY : iyah.




Gimana jualan buku?

Anonimo ha detto...

baru mikir abis baca postingan ini...
ndak pernah ada postcard yang bergambar scenery jakarta yah? paling banter monas doang...

^^

that's the smart move of european countries. mereka berani spend duit banyak buat ngerawat bangunan tua tapi balik modal dengan kunjungan turis gila-gilaan dan image romantis, oh la la~

hotel indonesia 'direnovasi' menjadi mall-entah-apa-itu. boh. udah cukup mall di jakarta ini, dan isinya semuanya sama. kapan oh kapan, kita bisa mempunyai museum-museum seperti di italia, galeri-galeri seni seperti di perancis?
fatahillah aja horror bener tampilannya.

hoh.

Anonimo ha detto...

«kapan oh kapan, kita bisa mempunyai museum-museum seperti di italia, galeri-galeri seni seperti di perancis?»

Euh ... masih lama kayanya!

^^

Monas itu rada membosankan, tidak terlalu menarik.

Anonimo ha detto...

banjir sejuta ruko di sini. dengan sejuta arsitektur a la renaissance murahan, dan dua buah penjual besar segala macam perabot eropa. apa dikira negara tropis ini mudah untuk didiami dengan segala macam karpet dan ukiran murahan. tidak punya asal usul. bangsa yang malang, sejarah dibuang. sejuta ruko, bahkan hanya 10 meter di depan rumahku, mac! menghalangi sinar matahari pagi yang biasanya menyoroti teras dan membawa banjir lokal di belokan dekat rumah. duh.

gw kok ngomel2 di sini? :D