Salah satu aturan emas di komunitas Oksidental (Barat) adalah : jangan berdiskusi, apalagi mengorek-ngorek intrusif, tentang uang dan pekerjaan. Tapi, bah tapinya pula, ironisnya layar Hollywood seringkali menampilkan adegan dua orang asing yang baru saja bertemu atau berkenalan dan "So what do you do?" ... apakah ini omen bahwa suku amrik utara itu agresif? Ngga juga ah, para Canadians teman saya ramah dan rendah hati kok.
Entahlah, mungkin ini yang bikin saya tidak nyaman kalau bertemu dengan seorang Amerika. Suku australis, menurut saya, lebih diplomatik kalau tidak laidback, mereka menunggu sejenak dan bertanya dengan nada kasual, Ya working at the moment or just enjoying life ...?
Sedangkan di kelas French, kami diwanti-wanti bagi suku Gallus yang harus dicermati, topik sensitif adalah : uang, seks, dan politik ... plus di zaman modern ini, agama. Oh uang dan seks memang jamak. Tapi politik? Ah gimana cara? Bòh ... logika à la Charles de Gaulle kah?
Tandas Prof saya, Rita, sebab dulu kala, beberapa abad silam saat pengaruh Kerajaan dan Kekaisaran Prancis di puncak kejayaannya, seorang jelata harus berhati-hati buka mulut kalo ngga mau diseret ke penjara (Bastille, anyone?) atas tudingan subversif terhadap negara (L'état c'est moi! ─Louis XVI) sedang seorang diplomat Prancis pun harus cerdik karena beberapa kali perang meletus hanya karena perbedaan perspektif politik Eropa yang tengah memanas mencuat di atas meja saat makan malam formal.
+++
Akhir 90-an, seorang teman baik kebetulan menunjukkan isi dompetnya dan ternyata ia selalu membawa/ menyelipkan selembar 100 dollar the United States of f....... America. Katanya, Ini buat emergency. Ah, si eneng ini Jakarta, the crime-ridden capital of Southeast Asia, ngga takutkah bakal ditodong-rampok-jambret?
Saya sendiri ngga pernah menenteng uang pecahan besar, selain seram dan ribet kalo hilang (mau nangis bombay di tepi gutter jalanan? LOL), tidak praktis untuk digunakan, pun godaan untuk meng-kommit a splurge di toko. Voilà.
Tapi suku ostralis memang cerdas, uang mereka bukan saja unik tapi mudah dibedakan. Ngga seperti dollar Amrik yang dull abu-abu plus garis hijau itu (dengan teknologi anti-fraud zaman Nyai Ronggeng jaipongan) ... si Pacific Peso (the AUD) pun menggunakan warna primer menyolok. Lalu di akhir 80-an lahir si uang plastik polimer. Maka, Moby Dick saat diwawancara oleh media musik, What's your best memory of Australia? ──pun berujar «Err... the washable money, I love it!».
Maka kalau mesti mempunyai favorit teman dompet, pilihan saya jatuh kepada note pecahan seratus di bawah ini ──liat foto, good anywhere in the Pacific. Nilainya memang sederhana jauh lebih inferior dari si limaratus Euros nun jauh di sana, tapi ... lagi-lagi uang ini ngga akan lenyap begitu saja sekira ia tak sengaja tergelincir ke turbin mesin cuci.
Sedang mata uang nasional kita, Rupiah, dijuluki monopoly money oleh Austraiiyans. Every time I go to Bali I feel like a millionaire, No hang a sec ... I am actually a millionaire there, housemate saya kegirangan.
Di Perancis uang disebut «L'argent» ─silver. Mungkin di Galia zaman Asterix, mode pembayar kuno memang metal berkilat.
Argentina sendiri kabarnya diberi alias tersebut saat Spaniards tiba di sana dan menemukan banyak sumber perak.
Sementara Italia memanggilnya «Il Denaro» ─the dinar. Spekulasi saya ini adalah warisan kolonial silam, saat para Romans tengah rajin-rajinnya mengimpor teknologi asing. Salah satunya dari negeri Arab. Bukankah mereka masih menggunakan dinar hingga sekarang. Pfff ... saya ngga tau banyak. Adakah yang bisa menjelaskan makna dinar?
+++
Apakah saya gundik harta? Err ... bèh, err, pfff, hmm .... beberapa tahun terakhir ini, selepas dari proteksi dan kenyamanan orang tua saya, denominasi monetari sesuatu yang penting. Bukan kenapa-napa, tapi saya benar-benar harus kerja keras karena tidak ada itu *makan siang gratis. Ada uang universitas yang harus dibayar, rent & bills yang kadang bisa tiba beruntun di akhir bulan, budget grocery mingguan, travel costs, ah dan daftarnya terus tak berujung. Dan terakhir .... untuk beli tiket pesawat dan membayar akomodasi atuh di negeri eksotik berikutnya! ^^
*Saya ingin sekali me-refute the old saying, there's no such thing as a free lunch. Buktinya, tiga tahun lalu saat masih sekolah, seringkali di kampus ada free lunch, sebulan bahkan bisa dua, tiga kali. Sayangnya, menunya jauh dari tipe nouvelle cuisine, lebih sering alakadarnya: sausage with bread roll! Plus biasanya dalam rangka penyambutan angkatan baru, atau pesta klub sports, atau disponsori oleh kompani komersial.
Dan terakhir, teman baik saya Rosalia pun kesal di suatu hari Sabtu yang cerah. Saat kami tengah berdiri di queue untuk French film festival tahun lalu, mendadak seorang wanita setengah baya hoity-toity dengan bling-bling bergelayutan di sekujur tubuh, dengan "teman pria"-nya, mendadak memepet di samping kami hendak memotong antrian, dan Rosalia bilang kepada saya: Money doesn't buy you class.
So, what buys class eh?
I reckon education and life experience do.