agosto 30, 2010

Ghedafi dan 500 Bidadari

Baru-baru ini saya backpacking di Maroko. Di ujung utara benua Afrika, di antara rana Eropa dan warisan budaya Timur tengah, Maroko memberi saya kesempatan menyaksikan betapa agama memiliki peranan besar dalam kehidupan sehari-hari.

Tapi, mestikah kita mempengaruhi orang lain dengan kepercayaan kita?

Kolonel Ghedafi, pemimpin (sebagian orang menyebutnya diktator) Libia tengah berada di Italia. Biasalah, power talk, business lunches dan, tentu saja, jual-jual minyak.



Sang Kolonel berkumis ini terkenal party animal, gila pesta. Di kediaman duta besar Libia, Ghedafi mengundang 500 gadis Italia yang belia nan cantik. Tak punya rupa manis, lupakan bisa mendapat undangan.

Acara ramah tamah nan mewah ini ternyata diisi oleh presentasi Islam. Kepada 500 gadis cantik, Ghedafi memberi cenderamata Qoran sekaligus meminta gadis-gadis itu berpindah agama.

Terbayangkah jika kisah seperti ini terjadi sebaliknya? Presiden Prancis datang ke Indonesia misalnya, dan meminta perempuan Indonesia memeluk agama Katolik? Wah, penduduk RI pasti protes dan mencak-mencak, perang dingin dengan Malaysia bakal jadi cerita halaman belakang.

agosto 22, 2010

Pemilu Australia

Pemilu Australia


Mengamati proses demokrasi milik bangsa lain bukan cerita baru, ini barangkai obsesi setiap ruling class.

Tanggal 21/8/2010 lalu, negeri kangguru merampungkan pemilu mereka, 'election' itu bahasa kerennya — kebetulan saya menjadi bagian langsung proses ini.

Bagi fans konvoy mobil-motor, yakni arek-arek dengan kaos berwarna bendera partai meneriakkan yel-yel di sepanjang jalan protokol, Australia is not the place to be.

Pemilu di negeri koala ini tidak jor-joran, terkesan kalem bahkan. Mungkin ini salah satu karakter negeri di mana garis-garis demokrasi dengan tradisi bangsa Inggris menorehkan jejaknya cukup solid.

Partai politik di Australia jarang sekali mengadakan pertemuan akbar yang dihiasi oleh artis ibukota, seperti di RI. Ataupun konvensi politik, ala pemilu US, di stadium olahraga yang diisi oleh bos-bos perusahaan multinasional. Agenda kampanye Australia bisa dianggap membosankan, jika menggunakan barometer USA.

Yang sama adalah taktik image di media: leader yang berkunjung ke daerah-daerah terpencil dan menyambangi rumah sakit, leader partai politik berdialog dengan pemilik bisnis dan ibu-ibu rumah tangga di childcare centre. Dan tentu saja, yang tak boleh ketinggalan, foto cium baby di manapun mereka berkampanye.

Hari pemilu jatuh pada hari Sabtu: berbeda dengan kondisi RI di mana jalanan menjadi lengang dan kebanyakan karyawan libur, Sydney terlihat normal, bakery dan kafe di Circular Quay tetaplah ramai, feri menuju Manly hilir-mudik mengantar penumpang yang didominasi turis asing, downtown CBD (Central Business District) sebaliknya, mati.

Sialnya, saya mesti masuk kerja hari itu. Dan tidak ada dispensasi dari kantor. Business as usual, singkat kata.

Pada saat jam makan siang, bersama Karla, rekan asal Meksiko yang juga warga negara Australia, plus Joe rekan orang Australia, saya meluncur menuju public school terdekat. Tujuan: untuk mencoblos.

Jalanan ramai, kami harus menunggu di perempatan. Lampu merah terasa lama sekali, lampu hijau bagi pedestrian, sebalikknya, tak kunjung nyala. Jam makan siang kami cuma 60 menit!

Lucunya, nyoblos di sini bisa dilakukan di TPU manapun. Saya yang terdaftar di alamat lama, bisa mencoblos di TPU di distrik yang berbeda. Tak masalah, sepanjang masih di negara bagian yang sama (NSW/New South Wales). Jika kamu orang NSW berada di negara bagian lain, Queensland misalnya, kamu harus mendaftar ulang agar diizinkan mencoblos.

Karla: "Who are you going to vote, Joe?"
Joe: "Oh I am going to vote for Labor!"
Gama: "Me too."
Karla: "I am going to vote for the Greens, guys."

Kultur pemilu di Australia memang beda sekali. Di sini, orientasi politik sangat terbuka dan warga lokal tak menyembunyikan partai pilihan mereka. TOO EASY, Mate, seperti kata orang-orang Australia yang terkenal casual dan laid-back.

Karena nama kami bertiga tak terdata di daftar panitia, kami diarahkan ke meja yang lain. Antrean agak memanjang di sini, kira-kira 10 menit.

Oopps, giliran saya, perempuan panitia yang mengecek data saya seorang imigran Asia. Mungkin dia orang Filipina, dari aksennya.

Okay, saya menatap dua lembar kertas di tangan. Kertas kecil berwarna hijau untuk mencoblos partai politik lokal, kita harus memberi nomor dari 1-6 untuk senator lokal.

Lembar kertas berikutnya gigantis, panjannya mungkin sampai 1 meter, seperti pergamena saja. Padahal di kertas ini kita cuma memberi satu coretan saja. Di RI, kita mencontreng, orang Australia mencoret satu garis lurus vertikal di atas box pilihan.

Lipat kertas ke amplop. That's it. Saya sudah mencoblos, dan ini berarti negara tidak akan mendenda saya, saya lolos dari ancaman penjara. Ya, di Australia, mencoblos hukumnya wajib bagi setiap warganegera.

Semoga Labor menang!