dicembre 22, 2009

Macchina e Chiesa



Macchina e Chiesa

dicembre 17, 2009

Peri Calcata / Tabloid Aplaus

Edisi 114 > Fokus > Setapak > Peri Calcata (Italia)


PERI CALCATA - Lazio, Roma, Italia


Jalan-jalan akhir pekan yang unik selalu dicari. Tak beda untuk mereka yang kebetulan tinggal di kota Roma. Ibukota Italia ini juga dikepung oleh desa-desa medieval yang menggoda untuk dikunjungi. Belum lagi janji makanan khas Romana. Semua ini ditemukan di Calcata.

MUSIM semi mengetuk tak sabar pintu-pintu rumah di Italia. Kebetulan Sylvain, sahabat saya yang tinggal di kota Nice, Perancis, datang ke Roma dalam rangka liburan. Ide brillian saya adalah menciptakan weekend“alla romana”. Maka itu, saya minta pada Francesco, seorang teman yang warga asli Roma, untuk memilih satu lokasi di Lazio di hari Sabtu yang cerah ini.

Kami meluncur ke arah dataran tinggi di daerah utara Lazio. Lucunya, sepanjang jalan tol S.S. 2, yang lebih dikenal sebagai jalan antik Via Cassia pada era Kekaisaran Romawi, tak satupun
amfiteater terlihat. Namun, pamer paha dan dada semok melimpah-ruah.

“Gadis-gadis ini
lucciole,” ucap Francesco yang menjadi guide lokal. Dalam bahasa gaul, luccioleartinya PSK alias Pekerja Seks Komersial. Perempuan-perempuan di sepanjang via Cassia ini sepertinya berasal dari Eropa Timur. Mereka masih belia; tak sampai 20 tahunan.

Bagi sebagian orang, prostitusi memang cara mudah mencari uang atau untuk sekadar bertahan hidup. Setelah kabur dari negaranya demi mencari kehidupan yang lebih baik, ataupun melarikan diri dari kerasnya realitas sisa-sisa kehidupan sosialisme-komunisme, mereka harus bisa “bergerilya” agar bisa hidup di Eropa Barat.

Mungkin melihat perempuan yang memamerkan bagian-bagian tubuh membuat jengah kebanyakan orang. Namun, hal ini tak berlaku di negeri Italia yang notabene sangat Katolik. Italia memang penuh realitas paradoksal.

Negeri berbentuk sepatu bot ini punya hukum antiprostitusi yang gahar dan bergaya
in your face. Kamera pengintai kini menjadi pengawas libido warga Roma di sudut-sudut strategis di kota yang terkenal dengan hidangan khas pasta carbonara ini. Polisi dan carabieneri (polisi sipil-militer Italia) juga sering berpatroli, serta tak segan mengeluarkan denda on the spot pada pengguna jasa seks pinggir jalan.

Persatuan PSK—oh ya, jangan salah, mereka punya sindikat pekerja!—tak mau kalah sebelum bertarung. Mereka berkampanye di pelbagai kota menuntut “hak” mereka untuk menjalankan profesi tertua di dunia yang mereka geluti. Mereka tak sekadar bergerilya di jalan, namun juga siap membayar tilang agar pelanggan setia tak segan menggunakan jasa mereka.

Skyline abad pertengahan Calcata
Kami baru saja menempuh 40 km. Mobil Fiat yang kami tumpangi perlahan mendaki jalan dua ruas yang begitu sempit, tak cukup lebar untuk menampung mobil-mobil berplat RM (Roma) yang diparkir ilegal di bahu jalan.

Akhirnya! Skyline abad pertengahan Calcata muncul dengan spektakuler, menyuruh siapa pun segera melintasi gerbang kotanya. Tempat ini sepertinya punya banyak “cerita”, terlihat jelas dari pucuk-pucuk
parapet (tembok pertahanan yang umumnya ditemukan pada sebuah benteng atau kastil) benteng kota yang meruncing layaknya ekor burung walet menandakan desa ini dulu mendukung kubu Ghibellin, alias pendukung Kekaisaran Suci Romawi di abad ke-12 dan 13.

Calcata ialah tempat yang kita pikir nyata hanya di cerita-cerita fantasi atau di dunia dongeng yang dipenuhi peri dan kurcaci. Mencuat di atas karang bebatuan
tuff (abu vulkanis yang mengeras), Calcata adalah satu dari sejumlah desa abad pertengahan di daerah Lazio.

Namun, di balik atap
terracotta dan tajamnya puncak menara-menara medieval di sini, desa ini ternyata berasal-usul suku Falisci. Sama seperti nasib suku-suku kecil yang bertebaran di sepanjang jazirah Italia, suku misterius Falisci sempat berperang dengan kota Roma sebelum akhirnya ditaklukkan oleh ketangguhan prajurit Romawi. Semua ini terjadi dua setengah abad sebelum lahirnya Kristus.

Parkir mobil diperbolehkan hanya di bagian luar dinding kota yang berusia ratusan tahun. Melewati gerbang Romawi yang menjulang tinggi dan terbuat dari susunan batu-batu raksasa, kami dan para pengunjung desa ini juga harus melalui serangkaian lorong-lorong suram tipikal abad pertengahan. Sinar matahari yang panas tak kuasa menerobos sejuknya dinding kota yang berlumut.

Piazza Vittorio Emanuele II
Kami sampai di Piazza Vittorio Emanuele II yang terlalu luas namun penuh aktivitas. Anak-anak kecil berkejar-kejaran, sementara orang tua mereka terpaku mengagumi pengamen jalanan yang berpenampilan elegan dan tekun melantukan tembang klasik melalui akordeon. Alun-alun utama desa ramai oleh pengunjung yang kebanyakan didominasi oleh orang Italia. Ya, tempat ini tak bisa ditemukan di buku guide ataupun peta turis pada umumnya.

Banyak orang tak tahu betapa “pentingnya” Calcata dalam sejarah Kristianitas. Menurut legenda, pada tahun 1527 Calcata sempat menjadi tempat disembunyikannya sebuah relik penting bagi umat Katolik. Alkisah, seorang prajurit bayaran mencuri relik suci dari gereja Vatikan, untuk kemudian disembunyikan di Calcata. Relik yang dimaksud adalah “Holy Prepuce” alias serpihan kulup (
foreskin) yang kabarnya berasal dari sunatan Kristus. Oh ya, fantasi orang-orang zaman dulu memang bisa dikatakan hebat.

Terlepas dari benar atau tidaknya legenda itu, Calcata kini menjadi tempat favorit tujuan berakhir pekan. Di sini semua terasa rileks. Calcata mungil sekali. Tak heran–dan mau tak mau–berjalan kaki ialah satu-satunya cara menjelajah. Di dalam desa terlihat sedikit sekali kendaraan beroda. Sebagai gantinya, galeri seni dan
atelier (workshop artis.) mengintip di setiap sudut. Sabar dulu, semua ini ada penjelasannya.

Di Lazio, Calcata ialah satu dari sejumlah desa yang “ambruk”. Ambruk dalam pengertian tak ada aktivitas ekonomi yang bisa menunjang pertumbuhan desa. Akibatnya, bedol desa: penduduk terpaksa pindah ke kota untuk mencari pekerjaan.

Pada era Fasis di awal abad ke-20, pemindahan penduduk bahkan dilakukan secara paksa. Hingga tahun 1960-an, Calcata masih seratus persen “feodal”, dinding kota yang dibangun di abad ke-12 meredam laju modernitas. Di tahun 90-an, tempat ini menjelma menjadi pusat budaya. Artis-artis
hippies masuk ke Calcatta, dan orang-orang asing membeli properti di sini dengan harga sangat murah. Untungnya, kebanyakan bangunan di sini masih terlihat kokoh dan terawat.

Kusen dan pintu restoran di Calcata tampak segar, baru dicat, sedangkan jendela rumah makan terlihat transparan, memamerkan pelayan yang berlalu-lalang mengantar hidangan yang mengundang nafsu makan.

La Fata del Borgo
Kami memang tiba di Calcata agak sore. Jam makan siang sudah lewat, namun perut keroncongan memaksa kami segera mencari pengganjal perut. Dengan adanya orang Perancis dan Italia di rombongan ini, mau tak mau kami mencari restoran yang bisa memuaskan lidah Eropa yang
sophisticated.



Kami duduk di teras restoran yang nangkring di tepi jurang. La Fata del Borgo, alias rumah makan “Peri Dusun” ini
fully booked. Meskipun sudah mem-booking, kami masih harus menunggu di antrean.

Setengah jam kemudian barulah kami mendapat meja. Para pelayan mondar-mandir tanpa berhenti sekalipun di meja kami. Rasa lapar kami tahan dengan ngobrol ditemani
grisisini, roti gurih tipikal Italia, sambil menikmati panorama deretan pinus Meditarania yang tumbuh liar di antara tebing-tebing curam.

Restoran ini sungguh luar biasa ramai. Dua pelayan tak sanggup menangani rasa lapar puluhan warga Roma. Sejam sudah terlewati, belum ada tanda-tanda pesanan kami. Kami kembali meminta pelayan bergegas. Sylvain mengerutkan dahinya, dia memang tak terbiasa dengan pelayaanan di Italia yang jauh dari kata efisien.

Ah, akhirnya hidangan kami datang! Pasta Carbonara. Belum sempat kami bilang
buon appetito, alias selamat makan, “Wrong dish,” ucap Sylvain. Astaga, pelayan salah meja. Pasta carbonaraternyata pesanan meja sebelah. Insiden ini terulang dua kali. Sialnya, selalu Sylvain yang menjadi korban. Kali ini pelayan yang berbeda menyodori pasta All’amatriciana.

Hari menjelang sore, kami mengelus perut. Koki restoran La Fata del Borgo keluar dari dapur. Asap rokok yang ia embuskan seakan berusaha menghapus stres yang tertera jelas di raut mukanya. Ia mendatangi para pengunjung yang tersisa, meja demi meja. Ini memang kebiasaan para koki yang ingin cari tahu kepuasan pelanggan. Akhirnya, dia tiba di meja kami. Dari aksennya,
chef perempuan ini berasal dari Amerika Selatan. Ia berkali-kali meminta maaf. Alasannya, hari itu mereka kekurangan staf. Sebagai permintaan maaf, dia menawarkan tiramisu on the house.

Dengan deg-degan kami menikmati. Melirik ke arah Sylvain, saya waswas, Sylvain pasti kecewa dengan pengalaman ini. Ini kali pertamanya dia mengunjungi Italia dan sejauh ini Italia pastilah memberikan kesan “negara dunia ketiga”. Apalagi urusan perut, orang Perancis kan terkenal
fussy soal makanan.

Ah, kami terselamatkan. Sylvain cukup puas dengan sajian utama yang ia pesan. Kami tersenyum girang. Psst, Sylvain tidak tahu polenta con carne, alias sop jagung mais dengan daging, bukan makanan khas Lazio, melainkan daerah Utara Italia. Tak apalah, yang penting Asal Teman Senang.

Opera Bosco Museo d’Arte nella Natura
Tiramisu dan Limoncello (
liqueur khas Italia, terbuat dari lemon) diantar langsung oleh sang koki. “Buono—Enak,” komentar Sylvain pada sang koki. Kami berkali-kali berterimakasih. Ya, ya, kadang basa-basi diperlukan agar koki wanita ini tak tersinggung. Profesi yang ia sandang cukup mulia, mengenyangkan banyak orang sekaligus membuat lidah mengecap puas.

Matahari sore menebar rona jingganya. Ah tempat ini, Calcata, benar-benar membuat kita seperti anak kecil yang ingin bermain-main sepanjang hari. Kami berjalan-jalan sambil keluar masuk galeri seni. Di beberapa sudut, kepulan kacang walnut yang dibakar menyengat mata sekaligus menimbulkan air liur.



Keluar sedikit dari Calcata, kami langsung berada di tengah daerah pedesaan denga jalan setapak berlumpur, rumput ilalang setinggi lutut dan, tentu saja, lolongan anjing penjaga rumah petani.

Tak lama kami tiba di sebuah tempat yang unik. Mereka menyebutnya Opera Bosco Museo d’Arte nella Natura. Museum ini unik dan memberi sensasi berbeda dari museum-museum kebanyakan. Semua karya seni terbuat dari bebatuan, ranting dan batang kayu. Bentuk-bentuk hewan dan aktivitas sehari-hari (bangku, meja dan perahu nelayan) mendominasi, mengingatkan natur manusia yang memang selalu ingin kembali ke alam setelah lelah akan keseharian di kota.

Guide To Calcatta

How to get there
Transportasi publik tidak disarankan sebab hanya beroperasi di musim panas. Sangat disarankan berkendaraan pribadi, dari Roma, ambil jalan tol S.S. 2 (Via Cassia) dan ikuti rambu saja. Seperti kata pepatah, ‘Ada Banyak Jalan Ke Roma’, jadi kamu punya banyak jalur transportasi ke sana, tetapi umumnya, bisa dengan rute Medan/Jakarta-Singapura/KL-Roma dengan lama perjalanan 12 jam. Sekadar info saja, waktu setempat di Roma 6 jam lebih awal dari Waktu Indonesia Barat.

When to go
Hindari musim dingin dan bulan Agustus di Italia. May-Juni, Calcata tempat alternatif “off the beaten track” setelah puas mengunjungi Roma.

What to do
Calcata adalah tempat melepas kepenatan bagi warga Roma. Di Calcata, ikuti kata hatimu, jelajahi sudut-sudut dunia yang hilang ini dengan santai. Masuk ke galeri tanpa nama dan berbincang dengan artis atau pemilik galeri.

What to eat
Restoran di Calcata selalu penuh pada saat weekend di musim panas. Sebelum memesan, minta saran apa
menu of the day atau speciality daerah Lazio yang diandalkan oleh restoran.

Profil Penulis
Gama melukiskan
passion untuk negeri Pasta, Italia, melalui tulisan dan jepretan tustelnya. Selain kerja penuh waktu, ia menulis lepas untuk harian the Jakarta Post. Buku pertamanya “Ciao Italia!”, terbitan GagasMedia, tersedia di toko buku terdekat.


dicembre 03, 2009

Natalan di Venice, Yuk!

Pernah ngebayangin ngerayain Natalan —yes, European Christmas— di kota cantik seperti... err, Venice?


Sedihnya, Venice kali ini harus melewatkan Natal yang agak "basah", kota ini terendam oleh air laut.

Tapi... Tetep aja terkesan romantis, kok. Ya, nggak sih?







novembre 28, 2009

8 Langkah Menjadi Penulis «Travel»


8 Langkah Menjadi Penulis «Travel»
Gama Harjono / www.unmacchiato.blogspot.com
Penulis GagasMedia, penulis freelance JakartaPost

Senang menulis, sudah atau ingin menerbitkan tulisanmu? Hobi jalan-jalan, bertualang dan menjelajah tempat baru. Perfect. Gabungkan keduanya et voilà, seorang travel writer lahir dari dirimu. Kebanyakan dari kita bukanlah Triniti si Wanita Backpackacker Indonesia pertama, yang bisa membuat siapapun yang membaca tulisannya langsung ingin menyambangi lokasi-lokasi eksotis tersebut.

Menjadi travel writer adalah profesi yang diirikan banyak orang. Penulis travel yang terkenal bukan saja mendapat diskon di hotel-hotel untuk review, tetapi juga sponsor dari perusahan-perusahaan, airlines, resorts, bahkan tiket business class dari pemerintahan asing yang ingin mempromosikan pariwisata mereka.

Resep dasar seorang calon travel writer ialah rajin baca artikel perjalanan di media cetak. Setiap penulis punya gaya masing-masing. Setiap tempat punya cerita menarik. Kembangkan idea yang ada, gali sudut-sudut baru. Buat kisah biasa menjadi luar biasa, tanpa melebih-lebihkan. Ubah kisah klise menjadi cerita cerdas nan cantik.

1. Keep a diary. Bisa diari klasik, alias buku tulis bergaris, atau blog. Yang penting rajin "merekam" kejadian-kejadian. Misalnya, ... «
Gila euy, pesta kepulangan Alan dari Rusia keren banget. Meskipun alamat udah di tangan, tapi ternyata nggak gampang menemukan tempatnya yang tersembunyi. Aku ke sana bareng Adit dan Senja. Yah, enakan ada teman, buat jaga-jaga kalo party ternyata boring. Eeeuh, jauh banget dari kesan boring... Lokasi Porta Sole, yang jauh tinggi di puncak bukit tetapi begitu misterius. Kita nelpon Alan berkali-kali, dia bilang ikuti saja lilin-lilin yang menyala. Dan emang banyak lilin yang menyala sepanjang ratusan anak tangga itu. Party yang menyenangkan. Tempatnya sejuk, banyak daun-daun pepohonan bouganville. Bulan purnama menerangi kebun di lereng bukit... »

2. Poin pertama di atas merekam banyak detil-detil. Deskripsi tempat, ambience, atmosfir sungguh esensial untuk berhasil membawa pembaca seakan berada di tempat tersebut.

3. Data. Seorang penulis travel harus rajin mencari data. Sebelum. Ketika. Sesudah perjalanan. Rajin membaca, tulis poin-poin yang ingin di-eksplore, tema, misalnya "Gereja-Mesjid di Sisilia" atau "Biennale Sydney".

Nyari suvenir dan oleh-oleh penting. Dan sah-sah aja. Tetapi jangan lupa bahwa travel writer punya "tujuan" khusus. Yakni mengenal baik destinasi agar bisa di-share kepada orang lain yang belum pernah ke sana.

Kata editor senior GagasMedia, Windy, "jadilah mata dan telinga buat calon pembaca". Tip yang oke banget. Bisa juga jadi telinga jika hobi upload video di youtube dan siapa tahu kamu jadi kandidat berikut di kompetisi Gawe Paling Mantep Sedunia, alias "The World's Best Job".

4. Kenali orang-orang lokal. Locals give you insider perspectives and insights. Ngobrol dengan mereka. Tanya apa yang mereka lakukan untuk rileks di kota/desa mereka tinggal? Apa makanan spesial mereka?

Dan ini membawa kita menuju wisata kuliner. Okay, lupakan Pak Bondan yang mencicipi goulash di Hungaria, atau menyisip wine Beaujolais di Dijon. Sebagai wartawan kuliner amatir, kita bisa menyusuri restoran lokal yang tidak bikin jebol kantong. Gimana kalau kita mengilik Tourte de Blette, kue lezat seharga 2 Euro per piece yang hanya bisa ditemukan di kota Nice.

5. Jelajahi tempat-tempat tak biasa. Paris? Ya, ya, kebanyakan orang mau bertamasya di Paris, piknik di tepian sungai Seine di hari Minggu yang cerah. Tapi itu biasa, jutaan orang menginjak kaki di Paris setiap tahunnya. Coba, misalnya, "mencari jejak Ksatria Templar di Valetta, Malta" terdengar unik dan mengundang banyak tanda tanya, bukan?

Kalau kita harus mengulas daerah yang populer. Singapura, misalnya, di mana jutaan warga Indonesia berakhir pekan. Kita bisa mencari sudut yang menarik. "Singapore sling, the Real One" sambil berleha-leha di sore hari. Bisa jadi ide yang unik, kan?

6. Foto. Kurangi foto narsis snapshot, pelajari teknik travelling photography. Kualitas harus prima. Ingat, kita memoto untuk jutaan calon pembaca, bukan cuma buat kawan-kawan dan keluarga, atau sekadar untuk dipameri dan dikomentari di Fesbuk.

7. Untuk menembus surat kabar berbahasa asing nggak gampang. Tapi nggak mustahil. Dalam hal ini, tentu saja kemampuan berbahasa jadi aset utama, bahasa Inggris kita harus bersih dari grammar error. Siapkan tulisan 1000-1500 kata, simpan di file Word, sertakan foto berukuran kecil di attachment, dan kirim ke Redaksi. Mereka pasti akan menghubungimu kalau artikelmu dianggap menarik. Redaksi juga akan mengedit dan menyempurnakan tulisan sebelum diterbitkan. Honornya, lumayan.

8. Fokus kepada pembaca. Siapa? Apa latar belakang mereka? Apa yang mereka cari? Menulis buku dengan target remaja dan mahasiswa kita bisa lebih lugas dan agak ngegaul. Gue, elo, bisa dipakai. Kita bisa nyelengeh sedikit dengan fokus "fun", misalnya, tetap diutamakan.

Nulis di majalah beda lagi. Di sini, kaidah berbahasa lebih strict, pembaca pun spesifik, CLEO, pembaca bisa dipastikan cewek up to 25. Maka, kita bisa mengupas perjalanan "seksi", misalnya nudist beach.

Nah, koran cetak karena eksposur dan jangkauannya luas dan dibaca oleh keluarga, tone yang kita terapkan jadi agak umum dan PG+13. Misalnya, fitur kota Avignon atau kota Aix-en-Provence. Apa aja sih menarik di kota itu? Kita bisa sisipkan tips umum, juga. Misalnya, restoran ramah-bujet di tengah kota.

ps. Avignon terkenal dengan Istana Sri Paus (le Palais des Papes) sedang Aix terkenal dengan kolam-kolam air mancur dan gaya hidup Provence!

Semoga bermanfaat dan ingat, jadilah "mata" dan "indera" bagi calon pembacamu! Selamat menjadi travel writer.

novembre 07, 2009

Penjual sayur dan buah di Spanyol



Penjual sayur dan buah di Spanyol

ottobre 31, 2009

Apartemen Merah, Granada



Apartemen Merah
Granada, Spanyol

ottobre 16, 2009

Granada, Spain/Spanyol/Spagna/Espagne



Gran via de Colon, Granada

ottobre 11, 2009

Alhambra, Granada, Spanyol


Information chick, Alhambra, Spain: "Sorry, no hablo italiano. Do you speak English?"

ottobre 09, 2009

Olé - Jalan jalan di Spanyol

Pertama kalinya saya (berhasil) menginjakkan kaki ke negeri Matador, alias Spanyol, dengan perasaan girang bercampur takjub, saya membandingkan kesamaaan dan perbedaan negeri ini dengan Italia. Dan hasilnya cukup mengejutkan.

Perjalanan kali ini sangat berkesan. Setelah lebih dari 2 tahun, saya bersua dengan Alberto, teman kelas dulu di Perugia, kami tak henti ngobrol di atas bus menuju airport (Bologna menuju Granada). Ya, ya, Alberto berasal dari kota Granada, Andalusia.

Dengan perasaan deg-degan, kami berhasil juga melangkah ke Boeing 737 milik Ryanair yang terkenal pelit. Bagasi jinjing 1 piece maksimum 10 kilo!

Granada dan kebun olivenya menantang mata dari balik jendela pesawat yang menukik rendah. Kota kecil Santa Fe terlihat sepi namun padat lalu lintas, mengingat posisinya yang strategis tepat di samping Granada (ibu kota provinsi ini menaungi 300 000 jiwa).

Seminggu bercokol (dan membawa kaki ini berkilometer-kilometer demi menjelajahi keunikan Spanyol) inilah penemuan saya:

1. orang Spanyol tampak lebih gembira dari orang Italia. Ekonomi mereka lebh bagus, demokrasi dan kebebasan hak-hak lebih dijamin di sini daripada di Italia (misalnya, pasangan gay dan lesbian bisa menikah di Spanyol).

2. Makanan murah dan lezaaaaat sekali. Kultur makan di sini mendikte kita untuk menongkrongi tapas-bar mulai dari pukul 20 sampai pagi menjelang. Tapas di sini murah, jelas Alberto. Granada adalah satu-satunya kota di Spanyol di mana tapas dijual bersama dengan minuman. Di tempat lain, kita memesan minuman plus tapas.

3. Bahasa. Lidah Spanyol memukau. Nada tinggi orang-orang Spanyol tak memudarkan pesonanya. "Hola Wapo, Que Tal?!"

4. ZARA adalah toserba "biasa-biasa saja". ZARA ada di sudut-sudut strategis, mulai dari ZARA HOMBRE CHICAS, sampai ZARA HOME (toko perabotan) namun berbeda dengan di Jakarta, ZARA di Spanyol bukanlah barang mewah yang kerap "diserbu" anak-anak muda borju Jakarta itu.

5. Kebudayaan Arabesque di sini bagus sekali. Memoto akhirnya menjadi hobi saya...

ottobre 07, 2009

Còrdoba (Dos), Spain


Seni Arabesque di Mesjid Katedral Còrdoba, Spanyol


Arches Masjid-Katedral, Còrdoba, Spanyol

ottobre 06, 2009

Cordoba, Spain


Walkin' under the arch

settembre 25, 2009

Couple showing defiance at Church



Couple showing defiance in fully functional Catholic church of Pantheon

settembre 17, 2009

Ponte Sant'Angelo, Roma, Italia


Ponte Sant'Angelo

settembre 16, 2009

Italian Bride

settembre 11, 2009

Piazza San Pietro, Vatican City

Negara Vatikan (Vatican City) - kota, negara, gereja - sejak tahun 1929 berdiri di atas tanah "suci" seluas tak sampai 0,5km persegi, berada di jantung kota Roma. Penghuninya adalah "orang-orang suci" alias para kardinal.

Sebelum Pakta Lateranensi (1929) di atas, Vatikan adalah salah satu organisasi politik / dinasti yang paling besar (dan ditakuti) di Eropa, setara dengan dinasti Habsburg, Savoy, ataupun Napoleon.

Semua bermula pada donasi oleh kaisar Pepin Si Pendek pada Paus Stephen II. Alkisah kaisar Pepin, ayah Kaisar Charlemagne yang menyatukan Eropa, ini sembuh dari sakit misteriusnya setelah Paus Stephen II memberikannya doa dan ritual penyembuhan. Saking gembiranya, sang kaisar memberi hibah pada pemimpin gereja Katolik.

Kuhadiahkan Roma dan teritori suku Lombardi pada keturunan San Petrus

Donasi verbal ini menjadi basis Negara Vatikan (Church State).


____________________________________



Piazza yang didesign oleh Michelangelo, disempurnakan oleh Bernini, ini masih saja buzzing oleh lalu-lalang turis dan peziarah dari seluruh penjuru dunia.

settembre 09, 2009

Hi everyone, I am Martina.

AF-point selection.

Eksperimen demi eksperimen, biar hasil foto makin maksimal.

Gimana foto ini? Udah mulai kelihatan kemajuannya kah?

Komen-komenmu ditunggu dan sangat dihargai.



Hi everyone, I am Martina.

settembre 05, 2009

Sydney Ferry Radiance















settembre 03, 2009

I'm Markus from Sweden

Helloooo, I am Markus from Sweden.

Am I cute enough for you? *winkwink

I'm cute, I'm super fluffly, *BUT* I am no easy... though I like going to bed with you! LOL.

And oh, I'm smart too. Look at my massive computer!

Yeah, baby!







agosto 29, 2009

Sehari di Chinatown

Australia dikenal sebagai negara penerima imigran. Sejak dari pertama kali Kapten Cook berlabuh di Botany Bay pada tahun 1770, disusul ekspedisi convicts pada tahun 1788, hingga hari ini di mana sepertiga penghuni benua paling kering sedunia ini berasal dari mancanegara. Sepertiga, 33%, itu angka yang besar sekali.

Dan inilah wajah multikulturalisme Sydney 2009

ps. jangan lupa tinggalkan komen Anda, apakah foto-foto ini cukup menarik atau kurang. Feedback kamu bakal menjadi pelecut semangat saya menjepret di tanah Italia, mulai minggu depan. trims





















agosto 28, 2009

Hobi baru - Canon 50D - Goin to Italy

Aku punya hobi baru.

Namanya fotografi amatir.

Kata beberapa orang, ini hobi murah meriah yang menyenangkan.

LOL—murah itu relatif, mengingat investasi buat photographic gear bisa cukup substansial.
Tapi meriah dan menyenangkan, iya sekali.

Komentar para teman ditunggu yah.
Komentar positif atau konstruktif, improvement kualitas foto di bawah ini...

Sydney University, Sydney, August 2009











agosto 14, 2009

Kacamata Orang Asing

Ciao Teman,

Halaah, lagi-lagi alasan basi, sibuuuuk banget.

Vacation is knockin' and I am billowin' ... Iyah, Itali aku datang!

Panggil aku manusia boring*, tapi aku udah siap menjejak museum di sana.
(*cuma orang-orang yang nggak cool yang liburan malah masuk ke museum ???)

Itinerary masih "open", mungkin bakalan stuck di Roma sebab ada "job kecil" yang mesti digarap. Kalo memungkinkan, mau ngunjungin selatan itali dan Spanyol untuk catching up sama Alberto dan Laura.

Okay, kerja keras di depan komputer masih jadi prioritas selama 3 minggu lagi.

Oh ya, ada satu email menarik (di bawah ini) dari Ibu Fitri yang pasti bikin mikir "hmmm, kenapa semua karya dan job seorang Gama berkisar pada Itali, Eropa, negara asing. Kenapa nggak ada konten lokalnya?"

Alasannya ada dua.

Satu. Menjual kultur/negara nggak gampang. Mesti ada passion. Dan kebetulan passion-ku emang Eropa. Kenapa bukan Amerika atau Australia atau Asia? I dunnoh. Kenapa durian berduri tajam? Who cares.

Kedua. Biasanya nih, the so called "foreigner's eyes" membuat kebudayaan itu jadi lebih memikat. Itu sebabnya kenapa penulis buku-buku mengenai Indonesia didominasi nama-nama asing.

Bule-bule yang jatuh cinta pada RI dan melihatnya dari kacamata unik. Itu sebabnya buku piktorial billboards di pulau Bali yang dibuat oleh bule Ostrali bisa jadi spesial. Kenapa nggak ada penulis lokal yang mau keliling pulau untuk memfoto baliho, neon? Karena mata orang asing lebih peka.

Kenapa buku Insight keunikan kehidupan Jakarta harus ditulis oleh bule UK? Karena indra orang asing terbuka lebar begitu mereka menyicip semua hal-hal ajaib yang ditawarkan oleh Jakarta.

Kenapa teman saya yang lahir dan besar di Roma tak peduli pada Koloseum dan pilar-pilar nenek moyang mereka? Sementara jutaan orang asing sengaja datang ke ibukota Italia untuk menyaksikan saksi sejarah dunia. Lagi-lagi karena "mata orang asing"
lah yang sanggup menangkap hal-hal ini. Mata lokal tak lagi sensitif.

That's how it is. A matter of perception and passion.

Terima kasih sekali pada Ibu Fitri. Tentu saya berharap bisa menjelajahi kepulauan Nusantara dan mengolah informasi ini pada dunia.

Sampai jumpa bulan depan dari Italia !

Salam kenal
Adik Gama Harjono....

perkenalkan saya ibu Fitri - pernah menjadi Stringer The Jakarta Post di tahun 1996-1998. dan sesekali menulis juga di beberapa media lainnya.

saya membaca buku Ciao Italia - Catatan Petualangan Empat Musim yang anda tulis. Sungguh seru dan luar biasa, detil-detil setiap sudut Italia anda tulis tak ada yang terlewati.

seandainya usia saya se usia anda maka sayapun akan melakukan hal yang sama, sayangnya di saat usia saya se usia anda, belum mendapatkan Rahmat Tuhan untuk bertualang ke luar negeri dan mencari negara yang memikat saya, tapi bukan Italia melain negara Afghanistan - Uzbekistan dan beberapa negara tetangganya , karena negara ini juga mempunyai daya tarik keindahan yang luar biasa memesona sebelum dihantam perang antara etnis maupun antar agama dan antar negara. sehingga keinginan saya tak terwujud,

tapi saya sudah berkeliling Indonesia dari Aceh sampai Papua, sayangnya semuanya sebatas liputan belaka, jadi tulisan saya sifatnya hanya berita atau feature,tak bisa brtualang karena keterbatasan waktu, maklum di ajak pejabat meliput kunjungan mereka jadi saya harus menulis yang bagus-bagus saja.

sekarang di usia menjelang kepala 5, saya punya kesempatan keliling Indonesia, tapi sayang sekali jiwa petualang saya sudah tak ada dan tak bisa menulis dengan gaya bahasa anak muda se usia anda. tentunya gaya tulisan saya bergaya nyokap-nyokap.

kebetulan putri remaja saya usia 17 tahun juga mengikuti jejak saya menulis novel remaja dan sudah ada 2 novelnya dan ingin bertualang ke Korea Selatan selama 1 tahun, belajar bahasa Korea dan menulis novel remaja dengan setting Korea. Mungkin tahun depan akan berangkat. Tapi Virus Flu H1N1 membuat niatnya agak kendor. Dia ingin bertualang keliling Indonesia tapi saya belum mengijinkan dia keliling Indonesia maupun Ke Korea, karena usianya terlalu muda dan mentalnya belum siap walau nalurinya menggebu-gebu.

saya ingin menggetarkan dawai dawai jiwa anda yang sudah bertualang ke berbagai negara cobalah bertualang dari Sabang sampai Merauke..... maka anda akan menemukan apa yang tak akan anda temukan di negara manapun di dunia ini.....

Percayalah.....negara tercinta, tanah tumpah kelahiran anda " Republik Indonesia " ini tak kalah eksotik dari Italia......

Selamat bertualang anak muda .......!

luglio 13, 2009

Dekor dan Personal Room


Seorang teman baik « Indri, yang ketinggalan kunci apartemen di Ciao Italia! » terobsesi akan idea "mendekorasi kamar".

Baginya, punya kamar dengan personal style adalah
fetish. Oh yes, fetish is no understatement here.

Semua mungkin berakar dari apartemen. Apartemen/rumah yang nyaman menentukan tingkat kebahagianmu.

Apartemen mungil Indri pertama kali ada di pinggiran hutan. Di pagi hari, begitu membuka jendela, dedaunan yang basah menyambutnya. Apt ini jauh dari kampus.

Apartemen berikutnya adalah tempat hangout kami. Roommate Indri adalah Claudia, gadis asal Catania, Sicilia. Kamar besar itu diisi dua single bed dan almari raksasa. Foto-foto snapshots menghias dinding di atas tempat tidur.

Indri masih mencari kamar idealnya. Berkali-kali dia sukses mendekorasi. Namun tak lama. Ia berganti-ganti rumah. Sekarang ia berada di Prancis, di negeri impiannya. Posting ini dedikasi untukmu!



ps. foto di atas merupakan apartemen Emanuel, member couchsurfing yang memberi tumpangan di Marseille. Pintu berkusen biru itu ditujukan untuk para travellers yang nyasar di kotanya. Cortile *teras internal* Emanuele kini telah disulap seperti lokasi brunch yang sempurna di akhir pekan.

giugno 30, 2009

update juli 09

Ciao ragazzi!


Lagi pengen update aja. Akhir-akhir ini gue kerja 6 hari per minggu, yeeehaaa. Cape, iyah. Sebenernya lebih cape di commuting aja. Emang sih Sydney kaga macet seperti di Jakarta, tapi tetap aja naik bis/kereta pagi dan malem, 6 hari seminggu, bisa bete.

Alasan knp kerja sepert kuli adalah, entah knp gw lagi workoholik. Di pertengahan tahun banyak bgt yg mesti diselesain. Di kantor rame, ada pelatihan, ada updates.

Mood juga kebetulan lagi bagus. Holiday udah di-approve. Tiket udah ditangan. Airport sudah membayang. Flight terakhir gw setahun yg lalu. Saatnya ber-jetleg-ria, saatnya menikmati nasi lemak untuk breakfast di ketinggian 30 000 kaki. Saatnya High Mile Club?! Hehe, kaga kali.

Lalu, naskah untuk buku ke-2 juga udah ”kelar”, cuma perlu re-touch di sana-sini. Okay, meski udah selesai, proses editing bakal memakan waktu. Untungnya gw bisa sabar, proses nulis 1 tahun, editing bakal berbulan-bulan. Lama bgt yak, you betcha!

Inilah bedanya nulis buku dg nulis artikel lepas. Awalnya gw pikir artikel udah lumayan lama –sedikit bocoran, gw harus nunggu approval dari redaktur Jakarta Post, begitu okay, artikel naik cetak mungkin masih dua minggu kemudian– lalu Jakarta Post membayar honor paling cepat 6 minggu kemudian.

Kedengarannya lama? Dibanding buku, itu termasuk cepet!

Udah lama banget gw nggak freelance. Naskah buku terlalu menyita waktu. Perasaan bangga pasti keluar begitu ngeliat tulisan kita di media nasional. Perasaan lebih bangga lagi ngeliat buku terdistribusi, entah knp gw merasa udah meninggalkan “jejak” gue via buku. Buku bisa beredar hingga bertahun-tahun, beda dengan artikel koran yang sehari dibaca besok jadi bungkus nasi uduk.

Anyhoooww, talk later.

ciao ciao
ps. posting foto Itali pasti menunggu di bulan september


giugno 22, 2009

Resensi Catatan Jalan-Jalan dari “Negeri Mafia”


Catatan Jalan-Jalan dari “Negeri Mafia”



Entah siapa yang pertama kali memulai berbagi pengalaman studi di luar negeri dalam media buku. Dulu saya pernah menemukan buku yang ditulis Arief Budiman tentang pengalamannya studi di negeri Kanguru. Belakangan muncul buku Studying Abroad yang ditulis Windy Ariestanty dan Maurin A. Buku berbagi info studi ini mengulas seputar tip dan trik persiapan sekolah di luar negeri hingga cara beradaptasi dengan lingkungan asing. Memang buku-buku semacam ini masih tergolong sedikit, walaupun sebenarnya minat anak muda bersekolah di luar negeri saat ini kian bertumbuh.

Selain berbagi pengalaman sekolah di luar, ada pula buku "jalan-jalan" ke mancanegara yang kian marak. Tengoklah Naked Traveler ataupun Ciao Italia!. Mengapa buku-buku seperti ini kian diminati? Di kalangan anak muda kelas menengah siapa yang tidak bergiur untuk jalan-jalan ke luar negeri. Selain kian banyak tawaran paket wisata "murah", akses pertemanan lewat Internet pun cukup memudahkan para traveller untuk mewujudkan niatnya. Apalagi bila, Anda memiliki banyak teman di luar negeri, hal ini tentu akan lebih memudahkan. Dan, kehadiran buku-buku semacam ini menjadi bagian yang menginspirasi para penyuka travelingjalur mancanegara.


Termasuk Ciao Italia! yang ditulis Gama Harjono. Buku ini mengajak orang untuk berkunjung ke Italia. Tak hanya itu, buku ini juga mengajak untuk belajar kebudayaan dan bahasa Italiano yang kabarnya tidak kalah menarik ketimbang bahasa Prancis. Sebagai sebuah pengantar buku ini lumayan lengkap; sebab Gama coba menuliskan soal kondisi sosial-budaya hingga semua tempat-tempat bersejarah di negeri sepatu itu. Tak lupa soal tip dan trik perjalanan pun disampaikan olehnya. Semisal persiapan bujet minimal dalam sebulan dan bagaimana harus mengirit ongkos makanan, namun tetap bisa berbelanja.

Ciao Italia! memang tampak digarap dengan serius dan detail. Bukutraveling ini ditulis hampir setahun oleh Gama. Gama adalah kontributor lepas sebuah koran berbahasa Inggris yang terbit di Indonesia. Kabarnya, kebiasaannya menulis dalam bahasa Inggris cukup menyulitkannya saat harus menulis dalam gaya bahasa Indonesia popular ala anak muda. Dan inilah hasilnya, sebuah buku panduan menyisir jejak-jejaknya di negeri tempat para ilmuwan dan seniman besar mencipta.

Petualangannya dimulai dari kota antik: Roma. Deskripsi beraneka sisi soal Roma, Colosseum, Altare Della Patria, Museum Capitolini langsung dia dedahkan cukup detail, terutama dari segi arsitektural. Bangunan-bangunan di Roma didominasi warna mediterania seperti cokelat pastel, lemon, terracota, dan putih marmer (hlm 13). Wajah "Eropa Tua" tergores jelas di kota Roma. Nah, naluri sebagai seorang penulis yang cukup cermat pun mulai tampak sejak membuka buku berslogan "Catatan Petualangan Empat Musim" ini.

Saat membuka sampul buku ini kita langsung disambut foto-foto eksotik yang penuh daya tarik Italia. Sebutlah Piazza Grande lokasi syuting Life is Beautiful,Venessia, Altare Della Patria, Umbria, Perugia, Katederal kota Orvieto, Florence, penjual buah di Naples, Piazza del Campo di Sienna, Cingue Terre, dan lainnya.

Gama termasuk mahasiswa yang rajin menyisihkan waktunya untuk menyusuri sudut-sudut Italia. Kiranya setahun sembari kuliah bahasa Italia di Universita per Stranieri di Perugia, sebagian waktu luangnya disisipi agenda jalan-jalan dan berpesta di negeri seni yang kaya akan sejarah abad tengah di setiap sudutnya.

Saat jalan-jalan menyusuri Perugia, Gama kaget ketika Alan (temannya) menunjukkan tempat tinggal Galileo, ilmuwan genius yang ditentang kaum gereja. Kekaguman akan Italia sebenarnya nampak jelas di bagian pengantar buku ini. Oleh sebab itu untuk mengenang “manisnya” Italia, Gama membagi segala apa yang ia lihat dalam Ciao Italia!. Namun, tak saja soal tempat, sisi pertemanan baginya orang Italia yang penuh kekeluargaan. Isi buku ini memang bisa membuat iri para pembaca yang belum pernah mencicipi Italia yang fenomenal.

Satu hal yang patut kita contoh dari keprigelan pemerintahan Italia adalah keseriusan atas penjagaan dan perawatan tempat dan situs-situs bersejarah. Tengoklah Desa Cingue Terre dan Basilika Asisi yang dibuat 1228 masih berdiri kuat. Kedua tempat ini bersegel UNESCO World Heritage Site. Di Cingue Terre, Anda tak menemukan satu batang pun antena televisi di atap rumah. Hal ini untuk menjaga agar desa itu nampak tradisional seperti di abad 16. Walikota setempat mengatur hal ini dalam undang-undang.

Namun di sisi lain seperti birokrasi, Gama menemukan keruwetan klasik. Semisal ketika ia diharuskan mengurus dokumen sebagai pendatang yang tidur di atas tanah Italia; ia harus menunggu berjam-jam dan tanpa serviceyang menyenangkan. Juga soal masalah sosial, terutama pengangguran dan banyaknya anak muda Italia yang cenderung manja dan bergantung pada orang tua. Hal ini sepertinya sudah membudaya di negeri itu. Banyaknya penipu dari kaum Gypsi, juga menjadi gambaran lain soal kriminalitas di Italia.

Yang tak kalah "seram" soal Italia adalah soal mafia. Naples adalah kota terseram yang pernah disinggahi Gama. Sebuah kota yang memiliki tingkat kejahatan tinggi. Butuh nyali besar untuk melintasi kota yang terletak di bawah Gunung Vesuvius yang aktif, di mana seks bebas diobral. Saat akan berkunjung ke Naples, pesan-pesan seram penuh rasa was-was yang membuat Gama
tergetar. Namun, kenekatannya tetap menggiringnya pergi menelusuri kota asalnya Pizza.

Buku ini akan lebih sempurna bila disisipi video berdurasi pendek tempat-tempat yang dilewati Gama. Dalam buku cetakan pertama ini saya tidak menemukan peta visual atau rute yang dilalui Gama. Inilah kekurangan dari buku ini. Di sisi lain, ada pelajaran besar yang bisa kita dapat dari buku perdana Gama, yaitu soal menghargai warisan sejarah dan budaya. Maka saatnya pembongkaran kota-kota tua ataupun bangunan-bangunan tua bersejarah dihentikan di Indonesia. Dan tirulah Italia dalam hal merawat tempat-tempat bersejarah.




Adi Baskoro

Pembaca buku, bekerja di Jakarta
penjaga rumahmatahari.net