luglio 31, 2006

Toutes les bonnes choses ont une fin - ainsi

Beuh ...

Kalo showbiz dan gemerlap selebrits harus "go on" maka hidup italica saya pun harus berlanjut, euh ...

Apt untuk dua bulan ke depan udah beres. Entahlah kaya gimana tempat baru ini, faktor housemates emang menentukan. Namun yang pasti rumah baru lebih jauh ke uni, bisa 20 menit kali berjalan. Entahlah, kalo males mungkin harus ambil bis. Menyebalkan kan, ongkos bis satu Euro one way ... berat di ongkos hehe.

Dan pindahan, mamma mia. Walau saya cuma punya satu koper dan satu backpack, tapi tetep aja repotnya.

Dan gli amici, kawan-kawan, yang baru saja saya kenal, mereka pun kini satu persatu meninggalkan kota ini. Mau gimana lagi, studi mereka selesai bulan ini, sementara saya baru mulai.

Apakah saya akan cengeng, beuh .. ngga guna. Teman datang dan pergi.

ciao ciao

...

luglio 28, 2006

Florentia for Florence for Firenze



Nama antik, sesuai origin Etrusca-Romano -nya, adalah Florentia, seorang serdadu Kekaisaran Roma yang diberi teritori yang sekarang adalah Piazza della Repubblica, pun kota bunga, yang disadur oleh suku Gallic menjadi Florence dan akhirnya menjadi moniker internasionalnya.

Firenze ahh ....

Dan ia sungguh adalah kota Tuscan, pusat dan sentral Renaissance. Arsitektur klasik Greca disimplifikasi penuh keanggunan memenuhi setiap sudut centro storico-nya.

Firenze pun sempat selama lima tahun menjadi ibukota the Kingdom of Italy, 1865-1870. Belum lagi Firenze pun menjadi tempat besar Dante Alighieri, si penulis abad 1300 yang akhirnya mempopulerkan dan kini, dialek Fiorentino, menjadi basis bahasa nasional Italia sekarang.

Sulit memprosakan keindahan Firenze, kota Renaissance warisan keluarga Medici ini harus disaksikan dan dinikmati dengan mata kepala sendiri. Saya pun beruntung bisa mengunjunginnya, berjarak hanya dua jam dari Perugia, maka transportasi kereta pun tak terlalu sulit. Selepas tengah hari, saat summer sekarang ini, matahari bersinar panjang, daytrip adalah sebuah hal menyenangkan bagi saya. Terburu-buru bukanlah kata kuncinya, saya memilih untuk mengenal perlahan Firenze, buat apa menjadi turis sehari kalau hanya untuk melihat objets d'art terkenal saja. Ah, sudah terlalu banyak turis yang melakukannya, sangat tidak menginspirasi.

Maka saya pun tidak berani membual telah melihat David (Michelangelo) atau bagian dalam il Duomo atau Santa Maria Novella. Antrian turis terlalu panjang, bleeeh ....

Alternatif pun, saya menjelajahi tanpa arah mulai dari Stazione, Piazza della Signora, Piazza Repvbblica, Piazza Patti.

Piazza della Signoria, bagi saya, adalah salah satu piazza paling mengakomodasi. Soal patung dan pancuran, kota Roma punya lebih banyak dan lebih grandeur karya seni. Namun, keunikan la Fontana di Nettuno adalah lokasinya yang bersebelahan dengan Palazzo Vecchio, sebuah palace dulunya menjadi gedung comune, kini meseum, dan Gli Uffizi, galeri seni paling ternama di peninsula ini.

Sedang Il Duomo, la cattedrale di Santa Maria del Fiore, apa yang bisa saya katakan. Brunelleschi memang seorang genius, desainnya simpel, elegan, rumit, cerdas, menginspirasi jiwa, warna dominasi hijau daun dan marron, namun tetap mempertahankan gaya klasik Italia dan Yunani.

Ah Firenze, saya akan selalu kembali kepadamu.

+++


Ercole e Caco (Hercules and Cacus)


La Fontana di Nettuno


Medusa decapitata (beheaded)


Atrium, Palazzo Vecchio


Palazzo Vecchio


Palazzo Vecchio in half a glimpse


Peeping il Duomo


Piazza del Duomo


Il campanile della Santa Maria del Fiore


Three dogs or Three horses, piazza degli Uffizi

luglio 25, 2006

Arezzo, Toscana

Posting berikutnya: Florence (Firenze) … la città del fiore, la ville de la fleur, the city of flower.

Di Italia, Romanticismo bukanlah hanya sebuah frase tanpa makna. Ia sungguhan negeri yang indah, setiap façade-nya tidak pernah tak mempesona … dari berabad-abad yang lalu hingga detik ini.

Akhirnya, saya telah menginjakkan kaki juga di Toscana (Tuscany) provinsi di Italia yang mungkin paling ternama sedunia. Lupakan Frances Mayes dengan Under the Tuscan Sun-nya, Toscana tidak lagi butuh promosi … turis datang berjuta-juta mengunjunginya.

Dan hari Minggu lalu saya sangat beruntung bisa melakukan daytrip ke Firenze (Florence) via Arezzo, dari tempat saya saat ini perjalanan dua jam ini tak terlalu lama. Memang Italia itu negeri stivalo (sepatu boot) mengagumkan, hampir setiap meter perseginya penuh dengan belezza (keindahan) tak terkatakan. Firenze, fotonya saya posting berikutnya, singkat kata Firenze adalah salah kota terindah, paling mengagumkan, saya tak berani membual!

Sedang Arezzo adalah kota “medium”, ukuran sedang bagi standard di Italia. Populasi 90 ribu orang namun letaknya di simpang provinsi Lazio, Umbria dan Toscana memberinya keunggulan, sejak era Romawi Arezzo beruntung berada di jalur via Flaminia yang menghubungkan Roma dengan Firenze.

Maka tak salah jika Comune di Arezzo sibuk mempublikasikan “statistik” keemasannya, mereka memiliki sebuah amphitheatre yang kini hanya tersisa tulang belulangnya saja, sekitar 10% berhasil “terselamatkan” dari pillage suku Vandals, dimantle tentara Perancis Napoleon, dan pencurian publik. Berdasarkan riset, amphitheatre Arezzo salah satu dari tiga besar di Italia zaman antik Augustus, berdaya tampung 13 ribu orang dengan sajian gladiator dan hewan eksotik. Namun, kini, sebuah monastery San Bernardino menempati (ex)situs penting ini.

Centro storico, ah … Benigni. Kamu harus mencari film La Vita e’ Bella (Life is beautiful), sebab sebagian awal dari film tersebut berlatar Arezzo, Benigni bertemu dengan calon istrinya, pacaran, flirt … hingga saat putra kecilnya bertanya, Papa’ mengapa negozio (toko) itu bilang No Jewish and Dogs allowed inside. Dan Benigni pun sibuk mencari jawaban yang diplomatis.

Salah satu perbedaan besar yang saya cermati antara provinsi Toscana dan Umbria adalah fasilitas turisme. Toscana mungkin sadar “spotlight” dunia mengarah kepadanya, maka setiap palazzo (edifice) penting pun telah banyak dipugar, dilengkapi dengan rambu turis, berisi informasi singkat. Sehingga seorang turis naif seperti saya pun tak kehilangan petunjuk gedung indah apa ini yang tengah saya nikmati.

Dan tentu saja Arezzo sangat bangga dengan Piazza Grand mereka, bergaya Tuscan, sedikit oval (mirip di Siena) … dan gedung klassik di Piazza-nya menampilkan stemma (coat of arms) contrade (distrik).

+++

Image and video hosting by TinyPic
Piazza Grande

Image and video hosting by TinyPic
Piazza del Duomo, Palazzo Vecchio

Image Hosted by ImageShack.us
Banca di Italia

Image Hosted by ImageShack.us
Piazza Grande

Image Hosted by ImageShack.us
Piazza Grande

Image Hosted by ImageShack.us
Osteria «Fiorentina alla Brace», Arezzo, Toscana

luglio 24, 2006

silver-lines.blogspot.com

Silverlines .... ggrrrrhh!

Four jobs I've had:
1. Kitchenhand
2. Admin Assistant
3. Correspondence casual at Uni
4. Filler at Supermarket

Four places I have lived in:
1. Jakarta
2. Sydney
3. Rockhampton, Queensland
4. Perugia, Umbria, Italia

Four TV shows I love or loved:
1. Friends
2. Law & Order
3. CSI
4. The Practice

Four places I have been on vacation:
1. Paris, Nice
2. Amsterdam
3. New York City
4. Japan
... Italia termasuk semi holiday, tepatnya study-holiday. hehe

Four favorite dishes:
1. rendang
2. spaghetti alle vongole
3. rujak gejrot
4. gratin

Four places I would rather be right now:
More exotic destinations in Italy: Cinque Terre, Sicilia, Napoli, Pompei.
Or simply: France.

luglio 21, 2006

Gubbio

Jangan bicara skala nasional, Italia mengaku, berjuluk, Il Bel Paese, the beautiful country, bukan omong kosong memang.

Provinsi sekecil Umbria saja, terletak antara Roma - Florence, punya banyak desa jaman tengah. Salah satunya yang ternama adalah Gubbio, berorigin Umbri lalu Etruska lalu Roman.

Gubbio, nama antik Romannya Iguvium, populasi 30 ribu kepala, tak lebih dari 45 km letaknya dari Perugia. Di Sydney, Australia, ini bisa dibilang hanya bagian "suburban".

Dengan bus antarkota perjalanan satu jam berlangsung ndut-ndutan, naik turun bukit berondulasi, kepala sedikit pening sih, vertigo melanda sejenak.

Gubbio memang tak bisa berpongah, ia hanyalah hub kecil, tapi dua keunikannya:

1. Palazzo dei Consuli, sebuah istana (milik ex-Duke lokal mereka) yang sekarang berfungsi menjadi museum, menyimpang le Tavole eugubine (the Eugibina tablets) sebuah lempeng antik berkikir tulisan Etruska, suku misterius yang mendiami daerah ini sebelum dilenyapkan para Romans.

2. Il Teatro Romano. Sebuah mini amphitheatre peninggalan suku Romawi, walaupun tak utuh, tapi sekitar 30% nya telah diristrukturisasi dan sepanjang musim panas sangat aktif meng-hosting karya opera.

Sedangkan sisanya, atmosfir tenang, tranquil tanpa kegundahan kota besar. Katedral Gothiknya menyimpan banyak lukisan renaissance dan beberapa relik Vescovi (bishops) lokal di era 1300'an. Seram, ah memang bagian dari paket turismo Gubbio.

Centro storico-nya amatlah mungil, dari ujung ke ujung dua jam bisa ditempuh dengan santai. Di sisi timur kota ada Porta Romana, "gerbang Romawi" yang mungkin dulunya berfungsi sebagai pintu masuk kota, mengambil pajak komersial dll.

Di Barat, ada La Casa del Capitano, kini museum, bekas rumah "gubernur, kepala polisi" di jaman pertengahan.

Di puncak bukit mereka punya Katedral Sant'Ubaldo. Ai ya ya tingginya, dengan berjalan kaki, di terik summer ini, tak mungkin rasanya.


Gubbio, Umbria, Italia


Gubbio, Umbria, Italia


Teatro Romano, Gubbio


Teatro Romano, Gubbio


Gubbio's skyline


Porta Romana, Gubbio


Palazzo dei Comuni, Gubbio


Palazzo dei Comuni, Gubbio

luglio 20, 2006

singola e libera

Yah begitulah, masih ribet cari kamar. Kota ini kota studenti, tapi kompetisi pun tak kalah ketat.

Seminggu ini setiap hari saya melihat kamar setelah menelepon stanza singola, posto letto ad affitare. (room, bed) ... hasil positif belum nampak, tapi setidaknya mulai jelas gimana cara kerja orang-orang di sini.

Italians kadang «bizarre» .. nulis ads kamar tanpa spesifikasi krusial.

Zona, harga, fasilitas, girls only, no foreigners, no first years, no pet, no smokers, settimana corta (show week, an italian thing, panjang eksplinasinya) ... kadang NGGA ditulis di iklan.

Aaah gli Italiani sono tutto pazzi!

luglio 19, 2006

Raffaello, S Pietro, Perugino e gli Italiani

Hidup di Italia itu bak merangkai puzzle. Memang, hingga kini, saya kadang masih sulit percaya saya telah berada di sini, dan bukan cuma sebagai turis sehari dua hari. Dan tentu saja masih sulit mempercayai penglihatan saya. Italia begitu indahnya, kota dan desa jaman pertengahan di provinsi Umbria ini bertebaran bak intan di benua Afrika.

Ambil kota Perugia sebagai contoh. Menginjak minggu ke-3, saya mulai mengenali jalan utamanya, saya mulai tak lagi tersesat, tapi masih saja ada lorong dan lanes obscured dan kecil yang sebegitu gelapnya di siang hari, dengan suasana mediaeval-nya masih terpreservasi quasi-sempurna. Masih banyak arches dan lengkungan antik melayang tinggi tak tergapai di udara, menyembul di antara himpitan apartemen antik yang memesona, Masih saja topografi kota ini yang disusun sebagai benteng pertahanan memukau saya. Masih saja ketakpercayaan saya akan sejarah Perugia sebagai Papal State dan pemberontakan mereka terhadap tirani Vatikan dua ratus tahun silam.

Sabtu adalah hari bermalas-malasan. Maka saya pun melangkah santai menuju "lower part of the old town". Via Cavour. Melewati tiga gereja kuno kota Perugia.

Sant'Ercolano, pun patron Saint kota Perugia. Kemegahannya tersisip oleh desain gereja yang menyatu dengan dinding kota (ancient city wall) sehingga tampak kontras dramatik antar nuansa Erconalo yang putih merah muda dengan warna gelap dinding kota.

San Domenica. Si pendeta Spaniard yang amat dihormati di sini. Katedralnya megah tetapi dekor internalnya minimal.

San Pietro. Apa yang bisa saya bilang. Ia mungkin rumah ibadah paling indah se-Perugia. Luarnya mungkin agak sedikit kumuh, koridor sisa dari ex-status monastery-nya. Tapi begitu melangkah masuk, woaaah ... tak ada sejengkal tanganpun lepas dari saputan para artis lokal era renaissance. Affresco-nya menginspirasi dengan ratusan malaikat (angels), dinding dan terutama langit-langitnya pun penuh frescoes, mungkin tak kalah dengan gereja utama kota besar di Italia. Beberapa lembar lukisan digantung di dinding, salah satunya milik Raffaello (Raphael) ... The Annuncion (da Raffaello) begitu nyata dan hidup.

+++

Tapi bak fatamorgana di tengah hari bolong, semua keindahan ini sirna seketika saat kami, para orang asing, harus berurusan dengan birokratika lokal. Sangat ribet, tak ada kejelasan, tanpa aturan, dan menurut saya sangat orthodoks. Entahlah apa makna "burocrazia" bagi mereka. Italia memang punya problem besar dengan pendatang gelap, imigran tanpa kertas, clandestini, tapi apakah dengan semua hukum imigrasi mereka saat ini problem tersebut berkurang. Tidak, justru malah sebaliknya. Apalagi di sini pun tak kalah banyak residen legal, baik EU citizens maupun ex-comunitary, tapi semuanya harus berurusan dengan Questura (simbol biroktratik Mediteranea?) dengan bertele-tele dan tak habis derita di tengah panas dan dinginnya cuaca. Belum lagi sembilu emosional dan psikis yang tak bisa dikuantitaskan.

Koran nasional Italia bahkan punya supplemen khusus ditujukan bagi kaum imigran, isinya mulai dari keluhan, problem sehari-hari, hingga curhat masalah legal (dan semi ilegal?) ... pemerintah Italia giat mengawasi gerak gerik tetangga Utara mereka, France dengan policy ketatnya ekspulsi wajib bagi sans papier (imigran gelap), dan mungkin mereka mau mengikuti langkah tersebut, tapi lucunya Roma juga memberi amnesty ber-quota bagi imigran ilegal di Italia. Bak perahu di tengah badai, ngga jelas mau ke Utara, Barat, atau Selatan, kebijakan Italia ini.

Bleeehh ...

luglio 18, 2006

Un weekend dolcissimo?


Perugia, Umbria, Italia
Dengan bangga saya tampilkan foto hasil jepreten sendiri, dengan photoshop minimal (hanya di-sepia-kan!) ...

Menurut saya, bak imaji weekend yang lembut, yang hangat (karena tengah summer di sini) ... dan riang. Bayangkan tengah mengemudi mobil tersebut melewati kota medieval abad 12 dengan dinding kota kuno.

Pendapat kamu akan foto di atas?

hehehe

ciao ciao

luglio 15, 2006

Monteluce, Perugia & Umbria Jazz


Tempat tinggal saya saat ini: MONTELUCE. Ngga terlalu jauh dari centro storico (historic centre) sekitar dua belas menit berjalan kaki (cepat). Dekat pula dari sekolah dan ke mana-mana, kecuali ke stasiun mesti ambil bus euy.


La scaletta del Palazzo dei Priori. Tempat mangkal students di Perugia, selalu penuh setiap saat. Tempat bertukar pandang, mencuri glimpse dan membaur dengan Perugini (penduduk Perugia) ... the eternal flirt.




Syukurlah, akhirnya Minggu 16 Juli, Umbria Jazz berakhir sudah. Susah. Susah menembus crowd, piazza yang ngga terlalu besar tapi rasanya setengah dari provinsi Umbria ini semua numprek sekaligus. Beberapa kali, solo dan bareng teman, kami melakukan passeggiata (walk) sambil melihat hiburan, panggung bands. Beberapa bagus, terutama satu band dengan seorang wanita African American yang membawakan tembang jazz, pop, blues dan sedikit rock. Lagu-lagunya mudah dikenali dan gampang dinikmati. Berbeda dengan panggung lainnya, grup gospel dari Nashville, ai ya ya ... ngga terlalu ngerti saya dengan musik gospel, mending liat filmnya Whoppy Golberg.

hehe ciao ciao

ps. saya lagi punya problem mencari akomodasi, share accommodation di sini. Italians tidak mudah menerima orang asing ke rumah mereka. Mungkin ada generalisasi bahwa orang asing, non Italian, non European adalah crooks, tidak bersih, tidak asik. Hehe semuanya relatif sih.

luglio 14, 2006

Ordeal Questura Perugia

Incredibile.


They gave me a prenotazione to do the fingerprinting for Friday morning at the big Questura in Perugia. It's supposed to be at 8.30 am. So I was there several minutes before. Then it started.

Confuzione is the name of the game. There's nowhere where they take clients who already have been booked. The only ufficiale just said, La fila li!

So that's it, it's the big line where people seem not so different to the mob in Mogadishu trying to escape a civil war. There's no numbering system, it's who's the fittest survives game.

There's now a strong number of students, all from the Universita'. They reckon there's a special office that will open for us, not for the public. Soon. About 9 am.

Special office open. They say, Sorry the computer is broken. Oh great!

10 am. The computer is aggiustato. Then it's all Circo Massimo.

They take our moduli (forms), there's still no numbering system and from there on it feels like playing a Lotto game, you just hope your number's up.

There's no numbering system. A lady who came first, she says, I came here 7.45 and now I'm the last.

There's no waiting room. We all loiter the outdoor corridor area like homeless beggars. But this is nothing, next door is worse. People of all sorts with despair imprinted in their face wait for a chance to go to the Sportello. Some have a ticket with a number, mainly don't. The confused "customer" seems to be dominated by immigrants from North Africa who are very agile, Serb and the Balcan who are tall, blue eyed and very resistent. Many come with their family, some Italian men with "ethnic" wifes and they all wait patiently. The Slavic families converse in their own language whereas their children in Italian (probably been here long enough to feel to be an Italian).

And the rest of the troop, I am told, will not be processed today. Yes, they came early in the morning but the Questura cannot do them all in a day, so it has to be next week! Good luck to them.


Ai ya ya …

All up, I was eventually admitted at 13.00 ... yeah, four and a half hours later (since 8.30 am). The signora ufficiale is nervous however maintains a jocose spirit. While scanning my fingers, she takes a phone call and apparently her friend on the other line of the phone is extremely funny, she cracks a massive laugh and I am really agitated as she takes my wrong hand. In the end, she asks to check my information in the computer, I say, my parents' names are mispelled. Signora responds: it's ok, non importa!

Boh!

luglio 12, 2006

Post-Mondial, Italia è caput

Allo semua. Hidup alla student di sini itu ternyata bak pedang bermata dua. Memang sih, ini baru minggu kedua tapi udah empot-empotan. Otak saya.

Dengan total jam aktif 20hrs, yang dipadatkan dalam 3 hari, maka sisi baiknya saya jadi punya long weekend (eternal? LOL) sabtu, minggu dan senin. Sisi busuknya, Selasa Rabu Kamis ai ya ya stanco da morire, cape banget, karena ketiga hari itu super padat jadualnya. Apalagi, rasa-rasanya otak ini baru akan beranjak menuju program immersi totalnya, untuk srkg otak saya berpikir in Italian cuma saat kelas saja. Sisanya, yah masih didominasi Inggris, bahasa RI, dan sedikit French saat tengah self study (karena saya ngga mau kehilangan begitu aja French saya). Lucunya mimpi saya masih dalam bahasa Inggris, oaaaah … kapankah in Italian?

Ya uis, kali ini saya tinggalkan beberapa foto post-Mondial (Mondial = italian for the World Cup) … insiden Zidane-Mazzerotti sangat seru diikuti apalagi saya rajin ngikutin aktualita Italian dan French, hehe, media Perancis tentu aja sangat memihak ke Zizou anak emas imigran Algeria mereka, sedang media Italia masih mabuk kemenangan jadi apapun yang keluar dari mulut Mazzerotti dianggap la verita *truth. Info kecil tambahan Mazzerotti ternyata karakter antipati, walopun selama ini ia emang dianggap “biasa”, “normal” bahkan bagi seorang Mazzerotti. Prof saya berkomentar pagi ini, e’ pazzo (he’s a nutter, Mazzerotti!) LOL

Jendela-jendela kota Perugia dipenuhi spanduk, bendera dan ucapan selamat (kepada mereka sendiri).

ciao dari umbria








luglio 11, 2006

villa borghese



Souvenir terakhir dari kota eternal, Roma.

Hari penultimate dihabiskan dengan santai, tiba di metro Flaminio (hehehe, sekarang udah mulai kenal dengan jalur transportasi publik kota Roma, nama-nama metronya, serasa bak balik ke Paris sajah euy) lalu masuk gerbang besar villa Borghese via Piazza del Popolo. Bagi yang udah baca Angels&Demons -nya Dan Brown, piazza del popolo jadi setting penting di romans tersebut.

Villa Borghese bisa dibilang Central Park-nya kota Roma, rindang dan teduh, banyak pula tracks buat para joggers. Bedanya, tepat di tengah VBorghese ada museum ai ya ya, dan sekarang tengah ada eksibisi Raffaello, pelukis pilihan saya.

Selain itu ada pula kolam semi empang dengan gazebo di salah satu ujungnya berpatung ala Yunani indah. Tadi patung-patung mah di villa ini seribu tiga, banyak banget bertebaran di penjurunya. Terutama patung dan ukir bertema drago (Dragon) entahlah mungkin keluarga Borgo ini mengasosiasikan mereka dengan hewan legenda tersebut.

Lain kali saya cari tau lebih dalam.

bourgeoisie etimologisnya berasal dari keluarga borgo ini, yang terkenal flamboyan, filthy rich dan bergaya hidup ekstravagan.


ciao ciao dal caput mundo

luglio 09, 2006

calcio for football

Ngga pernah terbayangkan sebelumnya. Fenomena mencengangkan.

Australia memang dikenal sportfreaks, dan kadang mereka pun bisa “go off” saat event-event sport raya, tapi sepakbola bukanlah sport utama di negeribenua kangguru nun jauh kini di ujung lautan sana.

Tapi di sini, Italia, sepakbola dan lapangan rumput hijau sungguh bagian dari sendi nanar mereka. Tak peduli wanita, pria, besar, kecil, tua dan muda, semuanya antusias dan perhatian mereka pun terbetot ke layar tv tanpa jeda.

Sejujurnya awalnya saya hanya tertarik mengikuti perjalanan fantastis tim Socceroos, si anak bawang yang bukan saja dianggap “underdog” tapi juga tim bau kencur. Siapa sangka mereka akhirnya bisa tembus 16 besar. Bolanya memang bundar. Hingga tim Kangguru dihentikan oleh Azzurri.

Setelah itu, dua kali di tempat baru ini, di Perugia, kota kecil penuh pelajar dari berbagai belahan dunia, saya selalu diajak menyaksikan pertandingan Piala Dunia tim Italia. Mengesankan? Jangan ditanya lagi.

Mereka begitu ekspresif, setiap gerak-gerik bintang mereka dikomentari. Jalanan memang lengang tapi dari jendela-jendela apartemen keluar riuh rendah teriakan, cacian, cercaan, umpatan, tepukan dan segudang “street musicality” bak orkestra jalanan tanpa pemusik yang baru pernah saya alami seumur hidup. Italia at its quiet and best? LOL … jalanan yang seharian bak sirkus gipsi mendadak jadi arena tanpa spektator.

Flatmates saya Alan, Naomi dan Jens mengajak saya ke “centodieci”, sebuah pub tipikal italian untuk melihat italia-ukraina. Menjelang tengah malam, jalanan di piazza centro storico (city centre) hingar bingar, penduduk Perugia yang sebagian besar mahasiswa bak tumpah semua di sana. Piazza yang sekecil itu penuh dengan tumpahan manusia. Kembang api, petasan, mercon hingga chanting “italia … ITALIA” membahana, centro pun bak lautan cahaya dan euforia tak terbendung. Sementara beberapa bapa-bapa tua, keesokan harinya tak sengaja saya mendengar, saling berujar riang la coppa è nostra, the cup is hours; il finale è italia francia, italy and france at the final.

Namun italia german lah yang menghentikan degup jantung setiap orang italia. Kali ini saya dan beberapa teman ke Parco Sant’Angelo, sebuah taman obscured kecil terletak di samping dinding kuno kota. Sulit dilukiskan dengan kata-kata tapi dapat kamu bayangkan ribuan orang italia tumplek di satu tempat dan mereka begitu gundah gulana menyaksikan tim Lippi berkali kali gagal menyarangkan gol. Selepas gol pertama dan kedua oleh del piero, maka pesta semalam suntuk pun pecah. Jalanan bak arena festival, chanting italia italia dan lagu lagu nasional mereka berkumandang, sementara yang lebih agresif sibuk menyanyikan chorus il tedesco è bastardo, german is a bastard.

Ah seru memang. Apalagi Minggu malam ini. Italia dan France.

Allez Les Bleues …

+++

Souvenirs dari Roma :


Trevi Fountain


Ciambelle* stall
*ciambelle is like a doughnut


Obelisk Gajah atau Gajah memanggul obelisk?

luglio 07, 2006

Ciao da Roma

Ello semua ...
 
Rencananya tadi saya hendak memposting tapi apa daya kafe internet ini tidak punya koneksi USB.
 
Ciao dari Roma. Lagi. Kota penuh keajaiban. Apalagi untuk semi turis macam saya ini yang antusia memburu harta arkeologi, arts, dan storia tapi tidak terburu-buru karena setiap saat saya bisa tinggal menaiki kereta dari Perugia. Walaupun sebenarnya perjalanan dengan kereta dua setengah jam itu ternyata cukup membosankan tanpa musik. Buku banyak, tapi isinya hanya grammar sajah, susah susah pula! LOL

Sedari siang, kerjaan saya, bersama teman, busting the historic centre. Kali ini, alangkah senangnya punya pemandu lokal, ngga perlu kuatir tersesat. Dan entah berapa kalori yang saya konsumsi, pizzetta (pizza kecil) roman, kopi, pizza lagi, lalu kopi lagi. Untungnya semuanya hangus oleh jalan-jalan dari ujung ke ujung. La fontana di Trevi, grand. Besar dan tak sepi dari turis mancanegara. Foto udah ambil, tapi koin belum dilempar. Ah gampanglah, bukan saatnya superstitious, saya masih akan kembali ke kota Roma.

Lalu beberapa gereja, Santa Maria (apa itu namanya lupa) dengan statuette Bernini Sainte Theresia in Ecstasy, di maka legendanya Bernini mendapat wangsit dari langit untuk mengukir maha karya ini.

Lalu gereja Santa Maria di Maggiore ... che bella. Bagus banget interiornya, fresco dan lukisan dindingnya juga mengagumkan. Tapi di kota ini, yang namanya karya seni itu sangat commune, sangat umum. Begitu banyaknya sehingga bagi teman-teman lokal saya, Romans, tak ada «efek» khusus seperti saya si turis jalanan ini. heheee

Dan besok ... agenda masih penuh dengan rencana jalan-jalan.

La vita è bella ...
 
 
 
 
 
 
ciao ciao ...
your neighbourhood friendly italofrancophone mate

luglio 04, 2006

italia, asia, australia e tutto il mondo

il quattro luglio duemilasei
Kelas pertama pagi ini. Mulai jam delapan. Tapi entah karena ini masih hari pertama, entah Italians itu sangat kasual dan nyantai (atau malah jam karet, bak di RI) tapi baik classmates dan professoressa-nya tiba telat tak kurang dari lima belas menit.

Dan grade 3 (dari maksimum 5) ini tepat buat saya, banyak nouve parole (new words) dan vocabulario yang harus saya pelajari. Prof-nya juga jelas, saya bisa menangkap dengan baik, ngga keteteran lah.

Lalu, kelas di www.unistrapg.it (University for Foreigners of Perugia) ini ternyata lebih intensif dari yang saya perkirakan sebelumnya. Baguslah, uang sekolah yang saya bayar benar-benar value for money. Dan kalo dibandingkan dengan di Australia dulu, kelas bahasa di Italia ini bukan cuma melulu bahasa, pun mencakup civilitas, kebudayaaan dan kultur italia – singkat kata, mereka berusaha “mengitalianisasi total” si student. Dan kelas civilitas, apalagi ini Italia salah satu “land” tertua, lumayan menarik, tadi aja si Prof memperkenalkan sejarah singkat negeri tua ini. Siapa duga, ternyata nama «italia» diderivasi dari land of milk (LATTE) nama kuno Yunani millenia untuk daerah sekitar Calabria – walaupun lucunya, Calabria, kini, region paling Italian, paling termarjinalisasi secara ekonomi.

Tapi classmates, ai ya ya, bak di Korea aja. Hehe, kelas tersebut ternyata dimonopoli oleh suku Asia Utara, 70% dari Korea, sisanya setara Japon dan China. Selain dari tiga besar tersebut, yah saya, lalu satu pemuda Kazakhstan dan dua pemudi Cipriot (Cyprus).

Dan memang sebelumnya saya juga udah denger-denger rumor bahwa student Asia itu demen bikin grup-grup, entah alasan insekuritas atau emang memang prefer bikin klub eksklusif, tapi saya pun ngga terlalu tertarik untuk terjerumus. Bukan melecehkan, tapi sama halnya dengan bahasa Anglosakson, students Asia Utara itu kebanyakan aksennya ngga bagus. Nah, entar, gimana Italian saya mau bagus?

Untungnya flatmates saya pun punya lingkaran teman native Italians dan idealnya saya juga sering begaul dengan locals.
+++

Sebagai bonus, kepada semua temans setiap blog stupidissimo ini, berikut bawah foto diri saya yang selama ini terlalu nyaman bersembunyi di balik anonimitas dunia web.

luglio 02, 2006

Pilgrim to Assisi

I reckon I now understand why a large number of Europeans seem to be indefferent with cobblestoned lanes –which, while appear romantic, are scarcely found in Australia and Asia (poor us).

Italians are so blessed with medieval villages and towns they have casually abondoned a few and given them up to the tourists.

That seems to be the case with Assisi, a most popular destination for that mega important pilgrim for any self-respected Christians.

Assisi is just over twenty kilometres away from where I live, Perugia, yet the place is barely easily accessible without an own vehicle (car, scooter, and those ubiquitous three wheeled italian tuk-tuks). The fact that most centro storico are comfortably nested upon steep hills (particularly in Umbria) this is a bless in disguise, it served as an excellent natural defence against upcoming invaders and, more importantly, saved them from barbarian invasions following the fall of Rome.

Let's not get carried away with la storia.



Vieux-Assise is a quick bus ride, hiking up the hill is recommended for those brave enough to hitch the five km uphill journey in the summer heat. The lower town is where most Assisians live, not too touristy yet there's quite an impressive Renaissance Duomo in the smack bang of the residential area (even the smallest community in Italy needs a grand place of worship).

What immediately took my interest is the colour of Assisi. It may be a stone throw away from Perugia (the provincial capital) the colour of Assisi, however, differs greatly, being significantly very much shiny and luminous to that of Perugia.



Most Assisi palazzi (buildings) and city walls were of rough cut stone of pinkish and sand white hues. This is precisely how this ancient town, from great distance, radiate a gentle pastel shadow. Whereas Perugia, owing to the mysteriousness of the Etruscans perhaps, own a sombre and darkish mood in amongst its lanes, arches, and city walls.

Assisi centro storico is rather petit, end to end may be covered in an hour on a relaxing walk. Churches are abundant, just like any other Italian towship. Assisi owes its fame to its local boy, Francesco, who was a son of a wealthy merchant then soldier of the Perugia Comune, got his divine call then a monk.

San Francesco became even more special as he established a very modest way of living for a monk, with Franciscan monks to survive todate.



I see Franciscan monks everywhere in towns, they seem to be running the whole show. The chiesa di San Francesco (church) is a tourist magnet and it probably deserves to be one. I am impressed by the grand sight of the lawn in the courtyard of the upper basilica that states PAX (pace, paix, peace) and from what appears to be the Franciscan way of living, they seem to be promoting peace to the world. However he is called, San Francesco, Franziscus, Saint François, isn't peace what we all need in these troubled times?

The lower basilica is probably more special. The strong thousands of tourists seem to be keen to pay hommage to their favourite Saint. La tomba di S Francesco (the tomb) is down the crypt, modestly decorated and surrounded by fresh flowers. Flow of visitors runs smoothly and minimum surveillance from the security guards in the main basilica vigilantly offing visitors who sneak a couple of snaps of the frescoes. The small chamber housing the the reliques of San Francesco has an airy ventilation (possibly enhanced by the latest air conditioning system) and does not feel stuffy at all.

Externally, it's the same story, the basilica's façade has minimum décor and embellishment, disaffiliating itself from the Ponfiticus own taste in Rome.



The rest of the town seems to be sleeply little apartments sans inhabitants and cutesy tiny cafes, pizzerias, and restaurants geared up to mass tourism, freckle the few piazzas. Don't get me wrong though, I still enjoy my passeggiata (walk) here, the cobblestoned laneways are notably cleaner, clearly sign-posted and less disorienting to those of Perugia.

For one of best vistas of the Umbrian valleys, Assisi is definitely the place.

+++

There is a great option of places to visit but I'll probably need something different, something less Umbrian. There seems to be direct trains to Firenze (Florence) and buses to Siena. So ... who knows.

La dolce vita continues. My course is to start soon. My paperwork affair is a nightmare though. sigh.


ciao ciao